Judul awal:
“Di ujung Senja”
I.
TAMU MISTERIUS
Seperti biasanya aku datang
ke sekolah pukul tujuh kurang sepuluh menit. Baru sampai gerbang sekolah,
murid-murid sudah terlihat tergesa-gesa masuk ke gedung sekolah. Aku pikir
karena sebentar lagi jam pelajaran akan dimulai. Atau mungkin karena mereka
belum mengerjakan PR..hehehe..
Sesampai di ruang kelas aku tak mendapati satu orang murid pun disana. Aku jadi heran. Tidak biasanya kelas sepi begini padahal sebentar lagi jam pelajaran akan di mulai. Beberapa murid tampak memasuki ruang kelas. Ekspresi mereka ketika melihatku terlihat aneh. Muka mereka tampak pucat. Bahkan mata dari salah satu dari mereka seperti habis menangis.
"Dian! Murid yang lain belum datang?" tanyaku tanpa menanyakan apa yang terjadi pada mereka.
Yang di tanya tampak ragu-ragu untuk menjawab" Me..meraka...di halaman belakang sekolah, Ri.." katanya takut-takut.
Sesampai di ruang kelas aku tak mendapati satu orang murid pun disana. Aku jadi heran. Tidak biasanya kelas sepi begini padahal sebentar lagi jam pelajaran akan di mulai. Beberapa murid tampak memasuki ruang kelas. Ekspresi mereka ketika melihatku terlihat aneh. Muka mereka tampak pucat. Bahkan mata dari salah satu dari mereka seperti habis menangis.
"Dian! Murid yang lain belum datang?" tanyaku tanpa menanyakan apa yang terjadi pada mereka.
Yang di tanya tampak ragu-ragu untuk menjawab" Me..meraka...di halaman belakang sekolah, Ri.." katanya takut-takut.
Aku
penasaran. "Halaman belakang! Memang ada apa di halaman belakang
sekolah?"tanyaku.
Mereka saling berpandangan.
Mereka saling berpandangan.
"Lebih
baik kau lihat sendiri deh..." kata Dian.
Aku
langsung beranjak.
"Tari, ayo aku temani..."kata gadis
berpita merah. Dia adalah Mia.
"Baiklah...ayo!"
Kami menyusuri jalan untuk sampai di halaman belakang sekolah. Kami saling diam. Kami sempat berpapasan dengan beberapa murid yang kulihat memandangku dengan pandangan aneh.Beberapa dari mereka tampak berbisik pelan. Aku memandang Mia, dia juga memandangku. Namun aku tak bersuara.Aku hanya mendesah. Betapa terkejutnya aku ketika kudapati begitu banyak murid yang berkerumun di sana. Ku dengar salah seorang guru menyuruh para murid untuk segera masuk kelas. Mereka pun langsung berhamburan masuk kelas. Pundakku sempat tersenggol dengan keras oleh salah seorang murid. Untung aku tidak terjatuh. Aku dan Mia menerobos kerumunan murid yang berbalik arah menuju kelas. Aku sudah tak menghiraukan apakah mereka juga memandangku dengan aneh seperti beberapa murid yang ku temui tadi atau tidak. Sesampai di depan halaman aku menangkap sesosok tubuh yang baru di turunkan dari atas pohon. Jantungku berdegup kencang. Aku seperti mengenalinya. Aku mendekat untuk memastikannya namun Mia mencegahku.
"Kita masuk kelas saja, Tari! Ayo!"serunya menahan pundakku.
"Baiklah...ayo!"
Kami menyusuri jalan untuk sampai di halaman belakang sekolah. Kami saling diam. Kami sempat berpapasan dengan beberapa murid yang kulihat memandangku dengan pandangan aneh.Beberapa dari mereka tampak berbisik pelan. Aku memandang Mia, dia juga memandangku. Namun aku tak bersuara.Aku hanya mendesah. Betapa terkejutnya aku ketika kudapati begitu banyak murid yang berkerumun di sana. Ku dengar salah seorang guru menyuruh para murid untuk segera masuk kelas. Mereka pun langsung berhamburan masuk kelas. Pundakku sempat tersenggol dengan keras oleh salah seorang murid. Untung aku tidak terjatuh. Aku dan Mia menerobos kerumunan murid yang berbalik arah menuju kelas. Aku sudah tak menghiraukan apakah mereka juga memandangku dengan aneh seperti beberapa murid yang ku temui tadi atau tidak. Sesampai di depan halaman aku menangkap sesosok tubuh yang baru di turunkan dari atas pohon. Jantungku berdegup kencang. Aku seperti mengenalinya. Aku mendekat untuk memastikannya namun Mia mencegahku.
"Kita masuk kelas saja, Tari! Ayo!"serunya menahan pundakku.
Aku tak
menghiraukannya. Setengah berlari aku mendekatinya. Mataku terbelalak ketika
aku mengenali sesosok tubuh yang sudah terbujur kaku di atas tanah. Jantungku
serasa berhenti berdetak. Aku langsung jatuh tersungkur. Sayup-sayup aku
mendengar suara orang memanggilku...
“Apa dia
sudah sadar?”terdengar suara perempuan
“Sepertinya
belum”kata suara perempuan yang lain.
Pelan-pelan
ku buka mataku. Pandanganku sedikit kabur. Ketika pandanganku sudah mulai
terang aku hanya menangkap langit-langit sebuah ruangan. Aku tak tahu apa yang
terjadi denganku. “Dimana aku sekarang”gumamku dalam hati.
“Kamu
sudah sadar, Tari?”tanya sebuah suara di dekatku.
Aku
menoleh. Bu Susi berdiri di dekatku. Raut mukanya terlihat cemas.
“Saya
dimana, Bu?”tanyaku pada Bu Susi.
“Jadi tadi aku pingsan”gumamku dalam hati.
“Ya Allah...”aku buru-buru bangkit dan bergegas pergi
dari ruang UKS.
“Tari, tunggu! Kamu mau kemana?”seru Bu Susi.
“Maaf, bu...”aku pun berlalu. Aku berlari menyusuri ruang
demi ruang menuju halaman belakang sekolah. Tapi aku hanya mendapati seorang
guru dan dua orang berseragam polisi di sana. Seorang polisi sibuk mencatat,
sementara polisi yang lain terlihat
berbincang dengan guru.
Ketika akan mendekat. Sebuah suara memanggilku dari arah
belakang.
“Tari!.”kata suara itu. Dia adalah Leni. Sahabat baikku.
Matanya terlihat sembab.
Air mataku seketika mau menetes. Namun aku menahannya.
Dadaku benar-benar sesak.
“Itu tidak benar kan, Len? Yang aku lihat tadi itu bukan
dia kan?”tanyaku menahan tangis.
Leni menunduk. Dia sedikit terisak. Air mataku sudah tak
terbendung lagi. Leni memelukku. Kami saling terisak.
“Tiidak...ini tidak mungkin...”kataku terisak.
“Ayo.... Bu Marni sudah menunggu di depan gerbang.”kata Leni sabar.
“Aku tak mau ikut..”kataku
“Kenapa?”tanyanya serak.
Aku menggeleng. Tubuhku serasa lemas. Aku seperti tak
punya tenaga untuk bergerak.
Aku seperti terhipnotis dan menurut saja ketika Leni
menuntunku.
Sesampai di rumah, ku lihat keluargaku terlihat syok. Ibuku
tak hentinya menangis. Dia beberapa kali di tenangkan oleh ibu-ibu tetangga. Aku memandang kakak lelakiku. Dia sama sekali
tak meneteskan air mata. Dia hanya tertunduk lesu terduduk di dekat ayah.
Menjelang sore, pemakaman jenazah dimulai. Pikiranku
menerawang entah kemana. Selesai pemakaman yang kulihat hanya gundukan tanah
bertabur bunga segar serta sebuah batu nisan bertuliskan Halida Ayu Setyani.
Bayangkan saja kebersamaanku dengannya yang sudah terjalin semenjak kecil
terputus dengan sebuah kejadian tragis. Dia adalah kakak sekaligus sahabat terbaik bagiku. Segala
pertanyaan menggelayutiku. Kakakku selama ini baik-baik saja. Dia tak pernah
memperlihatkan kalau dia ada masalah. Aku tak tahu apa yang terjadi dengan
kakakku sampai ia memutuskan untuk bunuh diri. Menjelang malam aku memutuskan
untuk masuk kamar dan mengunci pintu kamarku. Ku pandangi langit yang tampak gelap gulita dari arah
jendela kamarku. Pikiranku mulai
menerawang sibuk mencari sebuah jawaban.
Aku lalu teringat sesuatu. Aku beranjak menuju kamar kakakku. Kamarnya
terlihat rapi. Aku mulai memasuki kamar. Bulu kuduku sedikit merinding. Aku
mulai membuka laci mencari sesuatu. Tapi aku hanya mendapati beberapa pulpen
dan pensil. Aku tak berhasil membuka laci paling bawah karena terkunci. Aku
mencari kunci di meja tapi tak kutemui.
“Apa yang kamu
lakukan disini?”tanya sebuah suara di belakangku. Aku terkejut. Ketika menoleh
ternyata ibuku sudah berdiri di pintu.
“Oh, ngga kok. Hanya
melihat-lihat saja.”jawabku sedikit gugup. Ibuku mulai memasuki ruangan.
“Lebih baik kau ke
ruang depan. Banyak tamu yang datang.”kata Ibu tanpa melihatku. Pandangan
matanya sibuk meneliti seisi ruangan. Aku masih tak beranjak dari ruangan. Ibu
mengelus-elus kursi yang biasa di pakai kak Ayu. Ibu sepertinya tak menyadari
kalau aku masih berdiri di ruangan ini. Ibu mendesah. Pandangannya terhenti
ketika melihat tempat tidur. Dia menatap tempat tidur itu cukup lama. Ketika
akan bergerak mendekati tempat tidur dia kaget melihatku. Mungkin ibu baru menyadari
keberadaanku.
“Ibu tidak apa-apa?”
“Oh! Tidak. Lebih
baik kita keluar. Tidak enak dengan para tetangga yang datang.”kata Ibu
buru-buru meninggalkan ruangan. Tangannya terlihat menyeka matanya.
“Aku masih ingin
disini, bu.”kataku.
“Sudahlah! Ayo kita
keluar”
“Tapi, bu...”
“Ibu bilang keluar!”Aku
kaget. Ibu benar-benar marah. Tak biasanya ibu membentakku hanya karena hal
ini. Biasanya dia sabar dengan kebandelanku. Mungkin ibu masih syok dengan
kematian kakak. Apa ibu tidak tahu kalau aku juga terpukul. Aku pun beranjak. Aku
mendengar ibu mendesah. Aku berjalan dibelakangnya. Di ruang tamu, para
tetangga dan kerabatku sudah berdatangan.
***
Bayangan masa lalu itu terbayang
lagi di depan mataku. Tiga tahun yang lalu
aku memutuskan untuk kuliah di Yogyakarta. Tempat dimana nenek serta kerabat
ibuku tinggal. Sejak itu aku belum pernah sekalipun pulang ke rumah ini. Ibu
dan ayah serta kakak yang bergantian menjengukku di Yogyakarta.
“Ri, ada Leni di depan?”seru ibu
dari arah pintu.
“Oh! Iya bu. “kataku sedikit
terkejut. Lamunanku tentang masa lalu seketika buyar.
“Hai! Wah tambah item kamu
sekarang...”celetuk Leni begitu aku turun dari tangga.
“Ngga salah. Aku lihat malah kamu
yang tambah item” kataku menanggapi celetukannya.
“Kalau aku sih memang dah item dari
sananya. Padahal aku sudah pakai krim pemutih wajah tapi tampaknya krim itu
tidak manjur di kulitku. Eh, ngomong-ngomong mana oleh-olehnya.”
Ketika Leni selesai bersuara ibu datang membawa dua piring
besar berisi salak pondoh dan bakpia yang aku bawa dari kampung.
“Wah, cepat banget permintaanmu
terkabul. Baru aja selesai ngomong dan keluar dua piring makanan.”celetukku.
“Hehe...bisa aja kamu, Ri. Wah,
makasih tante. Jadi ngerepotin.”kata Leni pada Ibuku.
“Iya...tidak apa. Masih banyak kok
dibelakang.” Kata Ibu
“Wah! Bisa dibungkus nih.”seru Leni
dengan nada bercanda.
“Boleh.”
“Ih! Dasar.”kataku. Leni hanya
senyam-senyum menanggapi perkataanku.
“Anggap saja rumah sendiri, ya.
Tante ke dapur dulu. Mau masak.”kata ibu
“Mau masak sop buntut ya tante.”
Ibuku tersenyum
“Asyik. Tante tau saja kesukaanku.”
“Heh! Memang ibuku mau masak buat
kamu apa...ge-er.”seruku protes.
“Biarin...yang penting kan sop
buntut...wek”katanya sambil menjulurkan lidah.
Leni memang tidak banyak berubah.
Dia tidak menunjukkan sikap sungkan meski kami sudah tiga tahun tidak bertemu.
Kami hanya berkomunikasi lewat handphone atau e-mail.
Leni berada di rumahku sampai
selepas makan malam.
“Tidak nginep saja. Aku kan disini
cuma seminggu, Len.”kataku
“Seminggu kan. Berarti masih ada
enam hari lagi. Tenang saja. Sebelum kamu kembali ke Yogya aku pasti nginep. “
Aku tak bisa lagi membujuknya.
Baru saja Leni pulang pintu sudah di
ketuk lagi dari luar.
Ibu yang membukakan pintu. Sebentar
kemudian Ibu memberitahuku kalau Tante Fitri yang datang.
“Tante Fitri? Sendiri atau?”
“Sendiri? Mana kakakmu?”
“Di kamar, bu. Mau Tari panggilin?”
“Iya..tolong panggilin ya....”
“Sendiko dawuh kanjeng ibu.”
Ibu tersenyum geli mendengar logat
jawaku. Maklum saja aku kan sudah tiga tahun di Yogyakarta. Sejujurnya aku tak begitu gembira akan
kedatangan tante Fitri. Mungkin karena
kami jarang bertemu kali ya. Terakhir bertemu adalah tiga tahun lalu sewaktu
tante Fitri berkunjung ke rumah ini. Waktu itu masih ada kak Ayu. Dan..
Aku terdiam di tangga. Aku baru
meyadari sesuatu. Ah tidak. Mungkin itu kebetulan saja. Aku lalu bergegas
menuju kamar Kak Andi.
Setelah memberitahu kedatangan Tante
Fitri. Aku dan kakakku langsung menuju ruang tamu. Ibuku tampak asyik
berbincang dengannya. Aku tak melihat ayah.
“Eh! Keponakan tersayangku. Kalian
apa kabarnya?”
“Baik, tante.”jawab kami bersamaan.
Kami lalu bersalaman dengannya.
Kecanggungan begitu terasa di ruang tamu. Ibu yang memang pintar mencairkan
suasana mulai bercerita tentang ayah yang baru pulang dari bandung. Sebagian
besar keluarga ayah memang tinggal di Bandung.
Aku mendengar suara motor ayah di
depan. Sebentar kemudian ayah datang dengan menenteng beberapa bungkus kantong
plastik.
“Darimana, yah?”tanya kak Andi.
“Dari depan. Adek, tolong ayah bawa ini
ke belakang.”
Aku langsung meraih beberapa bungkus
kantong plastik yang dibawa ayah dan membawanya ke dapur. Dari aromanya sih
sepertinya ayam bakar dan yang besar ini sepertinya semangka. Dan benar saja
setelah ku buka ternyata memang benar ayam bakar.
“Dipindahin ke piring, Ri!”kata ibu
di belakangku.
“Iya, bu.”
“Sini semangkanya! Biar ibu yang
potong.”kata Ibu sambil meletakkan beberapa bungkus plastik.
“Itu apa, bu?”
“Kue. Tadi Tante Fitri yang bawa.”
“O..”
“Ayah beli ayam bakarnya banyak
sekali, bu. Bukannya ibu tadi juga masak ayam, ya.”celetukku.
“Sudah tidak apa-apa. Takutnya nanti
tidak cukup.”
“Yang datang kan cuma tante Fitri, bu.”
“Sudah. Tidak apa-apa. Tidak enak.”
“Ayah sama ibu kebiasaan deh.”
“Kamu itu kalau sama saudara jangan
perhitungan begitu.”
“Bukan perhitungan, Bu. Tapi kan
sayang kalau mubadzir. Ibu kan sering begitu. Sudah masak. Ada tamu masih beli
masakan lagi. Yang ada juga kebuang.”
“Kamu itu sudah kayak ibu rumah
tangga saja. Sudah! Bawa ke ruang makan ayamnya. Sekalian lalapan sama
sambelnya jangan lupa”
“Beres, ibuku sayang.”
Beberapa menit kemudian pembicaraan
dilanjutkan di ruang makan. Aku dan Ibu yang masih kenyang hanya mencicipi ayam
gorengnya saja. Sementara kakak dan Ayah ikut makan bersama tante Fitri. Kakak
masih terlihat lahap makannya padahal tadi sudah makan banyak. Aku heran
terbuat dari apa sih perut kakakku itu.
Aku mengamati tante Fitri. Dia
terlihat lahap. Mungkin dia menyadari kalau aku memperhatikannya karena dia
langsung memandangku.
“Tante makannya banyak, ya. Maklum,
tante dari siang belum makan. Biasa, di jalan suka males makan. Bau kendaraan
sih. Tari kok makannya sedikit?”
Aku jadi canggung menanggapinya.”Tadi
sudah makan kok, tante. Masih kenyang sebenarnya.”
“O, begitu...”katanya kembali
melahap makanan di depannya.
“Dik. Dik raja berapa lama di Surabaya?”tanya Ayah pada tante
Fitri
“Katanya sih seminggu, mas. Tidak
tahu itu. Kunjungan kerja kok lama banget.”kata tante Fitri sedikit sewot.
Tante fitri kembali melihatku. Aku
yang merasa diperhatikan ikut memandangnya. Tante Fitri tersenyum samar
kemudian pandangannya beralih ke arah buah semangka di samping kirinya. Dia
mengambil sepotong dan melahapnya. Aku jadi takut melihatnya. Hawa tak enak
mulai menyelimutiku.
Tante Fitri menginap di rumahku
kurang lebih sepekan. Menunggu suaminya pulang. Tante Fitri bukanlah keluarga
dekat ibu. Ibu tante Fitri adalah ipar
nenekku dari pihak ibu.
Jam sepuluh lewat seperempat aku
sibuk menulis di meja belajarku ketika pintu diketuk. Ketika dibuka ternyata
tante fitri sudah berdiri di depan pintu kamarku.
“Hehe...dah tidur, ya. Tante boleh
masuk?”tanyanya ramah.
“Oh! Boleh tante.”kataku mempersilahkan
tante Fitri masuk.
Aku tak menutup pintu kamarku.
“Ditutup saja pintunya. Aku pengen
ngobrol nih. Tidak mengganggu kan.”
Aku masih sedikit takut dengannya.”Tak
apa kok Tante biasanya kalau temanku ke rumah, pintu kamarku juga terbuka.”kataku
menolak.
“O, begitu. Ya, sudah. Lagi ngapain?”kata
Tante Fitri mendekat untuk melihat tulisanku.
Aku buru-buru mengambil buku
diaryku.
“Eh, pake rahasia segala. Kakakmu
saja tidak.”katanya
Aku mengkerutkan kening. Aku tahu
kak Ayu juga suka menulis di buku Diary. Tapi masak sih kakakku menceritakan
semua yang ditulisnya pada Tante Fitri. Apalagi mereka baru beberapa hari
bertemu.
“Emang, tante tahu kalau Kak Ayu
suka nulis Diary?”tanyaku penasaran.
Tante Fitri mengangguk. Dia
tersenyum ramah.”Punya rahasia itu perlu, tapi kita juga jangan terlalu
tertutup.”
“Maksudnya?”kataku berlagak pikun.
“Biasanya orang yang suka menulis di
Diary itu, tipe orang yang tertutup.”katanya menjelaskan.
“Tidak juga tante. Aku nulis di buku
Diary karena memang aku suka nulis. Aku juga sering menceritakan tentang apa
yang aku tulis pada teman-temanku.“
“Masak. Wah, berarti tante salah. Coba
ceritakan apa yang kamu tulis. Bolehkan tantemu ini tahu. Teman-temanmu saja
boleh tahu masak tantemu ini tidak.”
“Orang ini aneh banget. Meski dia
terbilang tanteku tapi kan kami tidak pernah akrab.”gumamku dalam hati.
“Tante boleh lihat kan.”tante Fitri
berusaha merebut buku Diaryku seperti anak kecil yang berebut mainan dengan
temannya. Tak ayal aku mati-matian mempertahankannya dan memasukkannya di laciku
kemudian menguncinya. Tante Fitri tersenyum.
“Ada apa ini? Gaduh banget kayaknya.”seru
ibu dari arah pintu. Rupanya keributan kecil ini menarik perhatian ibuku.
“Tidak ada apa-apa kok, bu.”jawabku.
Aku memandang tante Fitri. Dia terlihat seperti tidak nyaman akan kedatangan ibuku.
“Baiklah kalau tante tak boleh tahu.
Ya, Sudah tante ke kamar dulu, ya. Mari mba, aku ke kamar dulu, ya. Sudah ngantuk,
nih.” Katanya sambil berlalu.
“Oh! Iya.” Ibu hanya bisa terbengong-bengong memandang tante
Fitri yang menjauh.
“Orang ini benar-benar aneh.”gumamku
dalam hati.
“Kalian seru sekali bercandanya. Ibu
jadi pengen ikutan. Eh, giliran kesini malah berhenti.”kata Ibu
“Ngga, kok Bu. Tante Fitri juga
belum lama kok ke kamar ini.”kataku. Aku tak sengaja memandang pintu
dan melihat bayangan seseorang.
“Apa tante Fitri masih di luar
kamar?”gumamku dalam hati.
Aku pura-pura menutup pintu. Aku
mendengar suara langkah kaki bergegas menjauh. Ketika ku tengok sudah tidak ada
siapa-siapa. Kamar yang ditempati tante Fitri adalah kamar kak Ayu. Sebenarnya
aku tak begitu setuju. Tapi selain kamar kak Ayu, tidak ada kamar kosong lagi.
“Ya, sudah. Tidur sana. Jangan lupa
sikat gigi dan wudhu, dan ingat berdo’a sebelum tidur.”kata Ibu menasehati.
“Ih, aku kan bukan anak kecil lagi,
Bu.”kataku sewot.
“Memang nasehat itu hanya untuk anak
kecil saja. Ya, sudah. Buruan sana.”
Aku langsung bergegas.
Malam yang sungguh mengherankan.
Dulu kedatangan tante Fitri yang mendadak tiga tahun yang lalu juga penuh
tanda-tanya. Tanpa kabar berita terlebih dahulu. Dulu dia juga sepekan
menginapnya di rumah ini. Sekarang sepekan juga. Entah apa yang terjadi. Ups.
Kenapa aku jadi berprasangka yang tidak-tidak begini.
***
(to be continued)
to be contined ..., bikin penasaran aja ..., lanjut!
BalasHapusTunggu saja...masih dalam proses...terimakasih dah berkunjung...
Hapus