Rabu, 30 Januari 2013

DI UJUNG SENJA (Bab 1)

Ini cerita awal sebuah cerita"DI UJUNG SENJA". kisahnya aku gabung dengan entri sebelumnya ya... ada sedikit perubahan disana-sini...maklum saja...mungkin kalau sudah jadi cerita yang utuh akan lain...

Judul awal:

“Di ujung Senja”

I.               TAMU MISTERIUS
                     Seperti biasanya aku datang ke sekolah pukul tujuh kurang sepuluh menit. Baru sampai gerbang sekolah, murid-murid sudah terlihat tergesa-gesa masuk ke gedung sekolah. Aku pikir karena sebentar lagi jam pelajaran akan dimulai. Atau mungkin karena mereka belum mengerjakan PR..hehehe..
Sesampai di ruang kelas aku tak mendapati satu orang murid pun disana. Aku jadi heran. Tidak biasanya kelas sepi begini padahal sebentar lagi jam pelajaran akan di mulai. Beberapa murid tampak memasuki ruang kelas. Ekspresi mereka ketika melihatku terlihat aneh. Muka mereka tampak pucat. Bahkan mata dari salah satu dari mereka seperti habis menangis.
"Dian! Murid yang lain belum datang?" tanyaku tanpa menanyakan apa yang terjadi pada mereka.
Yang di tanya tampak ragu-ragu untuk menjawab" Me..meraka...di halaman belakang sekolah, Ri.." katanya takut-takut.
Aku penasaran. "Halaman belakang! Memang ada apa di halaman belakang sekolah?"tanyaku.
Mereka saling berpandangan.
"Lebih baik kau lihat sendiri deh..." kata Dian.
Aku langsung beranjak.
 "Tari, ayo aku temani..."kata gadis berpita merah. Dia adalah Mia.
"Baiklah...ayo!"
Kami menyusuri jalan untuk sampai di halaman belakang sekolah. Kami saling diam. Kami sempat berpapasan dengan beberapa murid yang kulihat memandangku dengan pandangan aneh.Beberapa dari mereka tampak berbisik pelan.  Aku memandang Mia, dia juga memandangku. Namun aku tak bersuara.Aku hanya mendesah.  Betapa terkejutnya aku ketika kudapati begitu banyak murid yang berkerumun di sana. Ku dengar salah seorang guru menyuruh para murid untuk segera masuk kelas. Mereka pun langsung berhamburan masuk kelas. Pundakku sempat tersenggol dengan keras oleh salah seorang murid. Untung aku tidak terjatuh. Aku dan Mia menerobos kerumunan murid yang berbalik arah menuju kelas. Aku sudah tak menghiraukan apakah mereka juga memandangku dengan aneh seperti beberapa murid yang ku temui tadi atau tidak. Sesampai di depan halaman aku menangkap sesosok tubuh yang baru di turunkan dari atas pohon. Jantungku berdegup kencang. Aku seperti mengenalinya. Aku mendekat untuk memastikannya namun Mia mencegahku.
"Kita masuk kelas saja, Tari! Ayo!"serunya menahan pundakku.
Aku tak menghiraukannya. Setengah berlari aku mendekatinya. Mataku terbelalak ketika aku mengenali sesosok tubuh yang sudah terbujur kaku di atas tanah. Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku langsung jatuh tersungkur. Sayup-sayup aku mendengar suara orang memanggilku...
“Apa dia sudah sadar?”terdengar suara perempuan
“Sepertinya belum”kata suara perempuan yang lain.
Pelan-pelan ku buka mataku. Pandanganku sedikit kabur. Ketika pandanganku sudah mulai terang aku hanya menangkap langit-langit sebuah ruangan. Aku tak tahu apa yang terjadi denganku. “Dimana aku sekarang”gumamku dalam hati.
“Kamu sudah sadar, Tari?”tanya sebuah suara di dekatku.
Aku menoleh. Bu Susi berdiri di dekatku. Raut mukanya terlihat cemas.
“Saya dimana, Bu?”tanyaku pada Bu Susi.
“Tenang saja. Sekarang kamu ada di ruang UKS. ”kata Bu Susi.         
“Jadi tadi aku pingsan”gumamku dalam hati.
“Ya Allah...”aku buru-buru bangkit dan bergegas pergi dari ruang UKS.
“Tari, tunggu! Kamu mau kemana?”seru Bu Susi.
“Maaf, bu...”aku pun berlalu. Aku berlari menyusuri ruang demi ruang menuju halaman belakang sekolah. Tapi aku hanya mendapati seorang guru dan dua orang berseragam polisi di sana. Seorang polisi sibuk mencatat, sementara  polisi yang lain terlihat berbincang dengan guru.
Ketika akan mendekat. Sebuah suara memanggilku dari arah belakang.
“Tari!.”kata suara itu. Dia adalah Leni. Sahabat baikku. Matanya terlihat sembab.
Air mataku seketika mau menetes. Namun aku menahannya. Dadaku benar-benar sesak.
“Itu tidak benar kan, Len? Yang aku lihat tadi itu bukan dia kan?”tanyaku menahan tangis.
Leni menunduk. Dia sedikit terisak. Air mataku sudah tak terbendung lagi. Leni memelukku. Kami saling terisak.
“Tiidak...ini tidak mungkin...”kataku terisak.            
“Ayo.... Bu Marni sudah menunggu  di depan gerbang.”kata Leni sabar.
“Aku tak mau ikut..”kataku
“Kenapa?”tanyanya serak.
Aku menggeleng. Tubuhku serasa lemas. Aku seperti tak punya tenaga untuk bergerak.
Aku seperti terhipnotis dan menurut saja ketika Leni menuntunku.
Sesampai di rumah, ku lihat keluargaku terlihat syok. Ibuku tak hentinya menangis. Dia beberapa kali di tenangkan oleh ibu-ibu tetangga.  Aku memandang kakak lelakiku. Dia sama sekali tak meneteskan air mata. Dia hanya tertunduk lesu terduduk di dekat ayah.
Menjelang sore, pemakaman jenazah dimulai. Pikiranku menerawang entah kemana. Selesai pemakaman yang kulihat hanya gundukan tanah bertabur bunga segar serta sebuah batu nisan bertuliskan Halida Ayu Setyani. Bayangkan saja kebersamaanku dengannya yang sudah terjalin semenjak kecil terputus dengan sebuah kejadian tragis. Dia adalah kakak  sekaligus sahabat terbaik bagiku. Segala pertanyaan menggelayutiku. Kakakku selama ini baik-baik saja. Dia tak pernah memperlihatkan kalau dia ada masalah. Aku tak tahu apa yang terjadi dengan kakakku sampai ia memutuskan untuk bunuh diri. Menjelang malam aku memutuskan untuk masuk kamar dan mengunci pintu kamarku. Ku pandangi  langit yang tampak gelap gulita dari arah jendela kamarku.  Pikiranku mulai menerawang sibuk mencari sebuah jawaban.  Aku lalu teringat sesuatu. Aku  beranjak menuju kamar kakakku. Kamarnya terlihat rapi. Aku mulai memasuki kamar. Bulu kuduku sedikit merinding. Aku mulai membuka laci mencari sesuatu. Tapi aku hanya mendapati beberapa pulpen dan pensil. Aku tak berhasil membuka laci paling bawah karena terkunci. Aku mencari kunci di meja tapi tak kutemui.
“Apa yang kamu lakukan disini?”tanya sebuah suara di belakangku. Aku terkejut. Ketika menoleh ternyata ibuku sudah berdiri di pintu.
“Oh, ngga kok. Hanya melihat-lihat saja.”jawabku sedikit gugup. Ibuku mulai memasuki ruangan.
“Lebih baik kau ke ruang depan. Banyak tamu yang datang.”kata Ibu tanpa melihatku. Pandangan matanya sibuk meneliti seisi ruangan. Aku masih tak beranjak dari ruangan. Ibu mengelus-elus kursi yang biasa di pakai kak Ayu. Ibu sepertinya tak menyadari kalau aku masih berdiri di ruangan ini. Ibu mendesah. Pandangannya terhenti ketika melihat tempat tidur. Dia menatap tempat tidur itu cukup lama. Ketika akan bergerak mendekati tempat tidur dia kaget melihatku. Mungkin ibu baru menyadari keberadaanku.
“Ibu tidak apa-apa?”
“Oh! Tidak. Lebih baik kita keluar. Tidak enak dengan para tetangga yang datang.”kata Ibu buru-buru meninggalkan ruangan. Tangannya terlihat menyeka matanya.
“Aku masih ingin disini, bu.”kataku.
“Sudahlah! Ayo kita keluar”
“Tapi, bu...”
“Ibu bilang keluar!”Aku kaget. Ibu benar-benar marah. Tak biasanya ibu membentakku hanya karena hal ini. Biasanya dia sabar dengan kebandelanku. Mungkin ibu masih syok dengan kematian kakak. Apa ibu tidak tahu kalau aku juga terpukul. Aku pun beranjak. Aku mendengar ibu mendesah. Aku berjalan dibelakangnya. Di ruang tamu, para tetangga dan kerabatku sudah berdatangan.
***
Bayangan masa lalu itu terbayang lagi di depan mataku.  Tiga tahun yang lalu aku memutuskan untuk kuliah di Yogyakarta. Tempat dimana nenek serta kerabat ibuku tinggal. Sejak itu aku belum pernah sekalipun pulang ke rumah ini. Ibu dan ayah serta kakak yang bergantian menjengukku di Yogyakarta. 
“Ri, ada Leni di depan?”seru ibu dari arah pintu.
“Oh! Iya bu. “kataku sedikit terkejut. Lamunanku tentang masa lalu seketika buyar.
“Hai! Wah tambah item kamu sekarang...”celetuk Leni begitu aku turun dari tangga.
“Ngga salah. Aku lihat malah kamu yang tambah item” kataku menanggapi celetukannya.
“Kalau aku sih memang dah item dari sananya. Padahal aku sudah pakai krim pemutih wajah tapi tampaknya krim itu tidak manjur di kulitku. Eh, ngomong-ngomong mana oleh-olehnya.”
Ketika Leni  selesai bersuara ibu datang membawa dua piring besar berisi salak pondoh dan bakpia yang aku bawa dari kampung.
“Wah, cepat banget permintaanmu terkabul. Baru aja selesai ngomong dan keluar dua piring makanan.”celetukku.
“Hehe...bisa aja kamu, Ri. Wah, makasih tante. Jadi ngerepotin.”kata Leni pada Ibuku.
“Iya...tidak apa. Masih banyak kok dibelakang.” Kata Ibu
“Wah! Bisa dibungkus nih.”seru Leni dengan nada bercanda.
“Boleh.”
“Ih! Dasar.”kataku. Leni hanya senyam-senyum menanggapi perkataanku.
“Anggap saja rumah sendiri, ya. Tante ke dapur dulu. Mau masak.”kata ibu
“Mau masak sop buntut ya tante.”
Ibuku tersenyum
“Asyik. Tante tau saja kesukaanku.”
“Heh! Memang ibuku mau masak buat kamu apa...ge-er.”seruku protes.
“Biarin...yang penting kan sop buntut...wek”katanya sambil menjulurkan lidah.
Leni memang tidak banyak berubah. Dia tidak menunjukkan sikap sungkan meski kami sudah tiga tahun tidak bertemu. Kami hanya berkomunikasi lewat handphone atau e-mail.
Leni berada di rumahku sampai selepas makan malam.
“Tidak nginep saja. Aku kan disini cuma seminggu, Len.”kataku
“Seminggu kan. Berarti masih ada enam hari lagi. Tenang saja. Sebelum kamu kembali ke Yogya aku pasti nginep. “
Aku tak bisa lagi membujuknya.
Baru saja Leni pulang pintu sudah di ketuk lagi dari luar.
Ibu yang membukakan pintu. Sebentar kemudian Ibu memberitahuku kalau Tante Fitri yang datang.
“Tante Fitri? Sendiri atau?”
“Sendiri? Mana kakakmu?”
“Di kamar, bu. Mau Tari panggilin?”
“Iya..tolong panggilin  ya....”
“Sendiko dawuh kanjeng ibu.”
Ibu tersenyum geli mendengar logat jawaku.  Maklum saja aku kan sudah tiga  tahun di Yogyakarta.  Sejujurnya aku tak begitu gembira akan kedatangan tante Fitri. Mungkin  karena kami jarang bertemu kali ya. Terakhir bertemu adalah tiga tahun lalu sewaktu tante Fitri berkunjung ke rumah ini. Waktu itu masih ada kak Ayu. Dan..
Aku terdiam di tangga. Aku baru meyadari sesuatu. Ah tidak. Mungkin itu kebetulan saja. Aku lalu bergegas menuju kamar Kak Andi.
Setelah memberitahu kedatangan Tante Fitri. Aku dan kakakku langsung menuju ruang tamu. Ibuku tampak asyik berbincang dengannya. Aku tak melihat ayah.
“Eh! Keponakan tersayangku. Kalian apa kabarnya?”
“Baik, tante.”jawab kami bersamaan.
Kami lalu bersalaman dengannya. Kecanggungan begitu terasa di ruang tamu. Ibu yang memang pintar mencairkan suasana mulai bercerita tentang ayah yang baru pulang dari bandung. Sebagian besar keluarga ayah memang tinggal di Bandung.
Aku mendengar suara motor ayah di depan. Sebentar kemudian ayah datang dengan menenteng beberapa bungkus kantong plastik.
“Darimana, yah?”tanya kak Andi.
“Dari depan. Adek, tolong ayah bawa ini ke belakang.”
Aku langsung meraih beberapa bungkus kantong plastik yang dibawa ayah dan membawanya ke dapur. Dari aromanya sih sepertinya ayam bakar dan yang besar ini sepertinya semangka. Dan benar saja setelah ku buka ternyata memang benar ayam bakar.
“Dipindahin ke piring, Ri!”kata ibu di belakangku.
“Iya, bu.”
“Sini semangkanya! Biar ibu yang potong.”kata Ibu sambil meletakkan beberapa bungkus plastik.
“Itu apa, bu?”
“Kue. Tadi Tante Fitri yang bawa.”
“O..”
“Ayah beli ayam bakarnya banyak sekali, bu. Bukannya ibu tadi juga masak ayam, ya.”celetukku.
“Sudah tidak apa-apa. Takutnya nanti tidak cukup.”
“Yang datang kan cuma tante Fitri, bu.”
“Sudah. Tidak apa-apa. Tidak enak.”
“Ayah sama ibu kebiasaan deh.”
“Kamu itu kalau sama saudara jangan perhitungan begitu.”
“Bukan perhitungan, Bu. Tapi kan sayang kalau mubadzir. Ibu kan sering begitu. Sudah masak. Ada tamu masih beli masakan lagi. Yang ada juga kebuang.”
“Kamu itu sudah kayak ibu rumah tangga saja. Sudah! Bawa ke ruang makan ayamnya. Sekalian lalapan sama sambelnya jangan lupa”
“Beres, ibuku sayang.”
Beberapa menit kemudian pembicaraan dilanjutkan di ruang makan. Aku dan Ibu yang masih kenyang hanya mencicipi ayam gorengnya saja. Sementara kakak dan Ayah ikut makan bersama tante Fitri. Kakak masih terlihat lahap makannya padahal tadi sudah makan banyak. Aku heran terbuat dari apa sih perut kakakku itu.
Aku mengamati tante Fitri. Dia terlihat lahap. Mungkin dia menyadari kalau aku memperhatikannya karena dia langsung memandangku.
“Tante makannya banyak, ya. Maklum, tante dari siang belum makan. Biasa, di jalan suka males makan. Bau kendaraan sih. Tari kok makannya sedikit?”
Aku jadi canggung menanggapinya.”Tadi sudah makan kok, tante. Masih kenyang sebenarnya.”
“O, begitu...”katanya kembali melahap makanan di depannya.
“Dik.  Dik raja  berapa lama di Surabaya?”tanya Ayah pada tante Fitri
“Katanya sih seminggu, mas. Tidak tahu itu. Kunjungan kerja kok lama banget.”kata tante Fitri sedikit sewot.
Tante fitri kembali melihatku. Aku yang merasa diperhatikan ikut memandangnya. Tante Fitri tersenyum samar kemudian pandangannya beralih ke arah buah semangka di samping kirinya. Dia mengambil sepotong dan melahapnya. Aku jadi takut melihatnya. Hawa tak enak mulai menyelimutiku.
Tante Fitri menginap di rumahku kurang lebih sepekan. Menunggu suaminya pulang. Tante Fitri bukanlah keluarga dekat ibu.  Ibu tante Fitri adalah ipar nenekku dari pihak ibu.
Jam sepuluh lewat seperempat aku sibuk menulis di meja belajarku ketika pintu diketuk. Ketika dibuka ternyata tante fitri sudah berdiri di depan pintu kamarku.
“Hehe...dah tidur, ya. Tante boleh masuk?”tanyanya ramah.
“Oh! Boleh tante.”kataku mempersilahkan tante Fitri masuk.
Aku tak menutup pintu kamarku.
“Ditutup saja pintunya. Aku pengen ngobrol nih. Tidak mengganggu kan.”
Aku masih sedikit takut dengannya.”Tak apa kok Tante biasanya kalau temanku ke rumah, pintu kamarku juga terbuka.”kataku menolak.
“O, begitu. Ya, sudah. Lagi ngapain?”kata Tante Fitri mendekat untuk melihat tulisanku.
Aku buru-buru mengambil buku diaryku.
“Eh, pake rahasia segala. Kakakmu saja tidak.”katanya
Aku mengkerutkan kening. Aku tahu kak Ayu juga suka menulis di buku Diary. Tapi masak sih kakakku menceritakan semua yang ditulisnya pada Tante Fitri. Apalagi mereka baru beberapa hari bertemu.
“Emang, tante tahu kalau Kak Ayu suka nulis Diary?”tanyaku penasaran.
Tante Fitri mengangguk. Dia tersenyum ramah.”Punya rahasia itu perlu, tapi kita juga jangan terlalu tertutup.”
“Maksudnya?”kataku berlagak pikun.
“Biasanya orang yang suka menulis di Diary itu, tipe orang yang tertutup.”katanya menjelaskan.
“Tidak juga tante. Aku nulis di buku Diary karena memang aku suka nulis. Aku juga sering menceritakan tentang apa yang aku tulis pada teman-temanku.“
“Masak. Wah, berarti tante salah. Coba ceritakan apa yang kamu tulis. Bolehkan tantemu ini tahu. Teman-temanmu saja boleh tahu masak tantemu ini tidak.”
“Orang ini aneh banget. Meski dia terbilang tanteku tapi kan kami tidak pernah akrab.”gumamku dalam hati.  
“Tante boleh lihat kan.”tante Fitri berusaha merebut buku Diaryku seperti anak kecil yang berebut mainan dengan temannya. Tak ayal aku mati-matian mempertahankannya dan memasukkannya di laciku kemudian menguncinya. Tante Fitri tersenyum.
“Ada apa ini? Gaduh banget kayaknya.”seru ibu dari arah pintu. Rupanya keributan kecil ini menarik perhatian ibuku.
“Tidak ada apa-apa kok, bu.”jawabku. Aku memandang tante Fitri. Dia terlihat  seperti tidak nyaman akan kedatangan ibuku.
“Baiklah kalau tante tak boleh tahu. Ya, Sudah tante ke kamar dulu, ya. Mari mba, aku ke kamar dulu, ya. Sudah ngantuk, nih.” Katanya sambil berlalu.
“Oh! Iya.” Ibu  hanya bisa terbengong-bengong memandang tante Fitri yang menjauh.
“Orang ini benar-benar aneh.”gumamku dalam hati.
“Kalian seru sekali bercandanya. Ibu jadi pengen ikutan. Eh, giliran kesini malah berhenti.”kata Ibu
“Ngga, kok Bu. Tante Fitri juga belum lama kok ke kamar ini.”kataku. Aku  tak sengaja memandang pintu dan melihat bayangan seseorang.
“Apa tante Fitri masih di luar kamar?”gumamku dalam hati.
Aku pura-pura menutup pintu. Aku mendengar suara langkah kaki bergegas menjauh. Ketika ku tengok sudah tidak ada siapa-siapa. Kamar yang ditempati tante Fitri adalah kamar kak Ayu. Sebenarnya aku tak begitu setuju. Tapi selain kamar kak Ayu, tidak ada kamar kosong lagi.
“Ya, sudah. Tidur sana. Jangan lupa sikat gigi dan wudhu, dan ingat berdo’a sebelum tidur.”kata Ibu menasehati.
“Ih, aku kan bukan anak kecil lagi, Bu.”kataku sewot.
“Memang nasehat itu hanya untuk anak kecil saja. Ya, sudah. Buruan sana.”
Aku langsung bergegas.
Malam yang sungguh mengherankan. Dulu kedatangan tante Fitri yang mendadak tiga tahun yang lalu juga penuh tanda-tanya. Tanpa kabar berita terlebih dahulu. Dulu dia juga sepekan menginapnya di rumah ini. Sekarang sepekan juga. Entah apa yang terjadi. Ups. Kenapa aku jadi berprasangka yang tidak-tidak begini.
***
(to be continued)



















2 komentar:

Unknown mengatakan...

to be contined ..., bikin penasaran aja ..., lanjut!

Unknown mengatakan...

Tunggu saja...masih dalam proses...terimakasih dah berkunjung...

Posting Komentar

Rabu, 30 Januari 2013

DI UJUNG SENJA (Bab 1)

Ini cerita awal sebuah cerita"DI UJUNG SENJA". kisahnya aku gabung dengan entri sebelumnya ya... ada sedikit perubahan disana-sini...maklum saja...mungkin kalau sudah jadi cerita yang utuh akan lain...

Judul awal:

“Di ujung Senja”

I.               TAMU MISTERIUS
                     Seperti biasanya aku datang ke sekolah pukul tujuh kurang sepuluh menit. Baru sampai gerbang sekolah, murid-murid sudah terlihat tergesa-gesa masuk ke gedung sekolah. Aku pikir karena sebentar lagi jam pelajaran akan dimulai. Atau mungkin karena mereka belum mengerjakan PR..hehehe..
Sesampai di ruang kelas aku tak mendapati satu orang murid pun disana. Aku jadi heran. Tidak biasanya kelas sepi begini padahal sebentar lagi jam pelajaran akan di mulai. Beberapa murid tampak memasuki ruang kelas. Ekspresi mereka ketika melihatku terlihat aneh. Muka mereka tampak pucat. Bahkan mata dari salah satu dari mereka seperti habis menangis.
"Dian! Murid yang lain belum datang?" tanyaku tanpa menanyakan apa yang terjadi pada mereka.
Yang di tanya tampak ragu-ragu untuk menjawab" Me..meraka...di halaman belakang sekolah, Ri.." katanya takut-takut.
Aku penasaran. "Halaman belakang! Memang ada apa di halaman belakang sekolah?"tanyaku.
Mereka saling berpandangan.
"Lebih baik kau lihat sendiri deh..." kata Dian.
Aku langsung beranjak.
 "Tari, ayo aku temani..."kata gadis berpita merah. Dia adalah Mia.
"Baiklah...ayo!"
Kami menyusuri jalan untuk sampai di halaman belakang sekolah. Kami saling diam. Kami sempat berpapasan dengan beberapa murid yang kulihat memandangku dengan pandangan aneh.Beberapa dari mereka tampak berbisik pelan.  Aku memandang Mia, dia juga memandangku. Namun aku tak bersuara.Aku hanya mendesah.  Betapa terkejutnya aku ketika kudapati begitu banyak murid yang berkerumun di sana. Ku dengar salah seorang guru menyuruh para murid untuk segera masuk kelas. Mereka pun langsung berhamburan masuk kelas. Pundakku sempat tersenggol dengan keras oleh salah seorang murid. Untung aku tidak terjatuh. Aku dan Mia menerobos kerumunan murid yang berbalik arah menuju kelas. Aku sudah tak menghiraukan apakah mereka juga memandangku dengan aneh seperti beberapa murid yang ku temui tadi atau tidak. Sesampai di depan halaman aku menangkap sesosok tubuh yang baru di turunkan dari atas pohon. Jantungku berdegup kencang. Aku seperti mengenalinya. Aku mendekat untuk memastikannya namun Mia mencegahku.
"Kita masuk kelas saja, Tari! Ayo!"serunya menahan pundakku.
Aku tak menghiraukannya. Setengah berlari aku mendekatinya. Mataku terbelalak ketika aku mengenali sesosok tubuh yang sudah terbujur kaku di atas tanah. Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku langsung jatuh tersungkur. Sayup-sayup aku mendengar suara orang memanggilku...
“Apa dia sudah sadar?”terdengar suara perempuan
“Sepertinya belum”kata suara perempuan yang lain.
Pelan-pelan ku buka mataku. Pandanganku sedikit kabur. Ketika pandanganku sudah mulai terang aku hanya menangkap langit-langit sebuah ruangan. Aku tak tahu apa yang terjadi denganku. “Dimana aku sekarang”gumamku dalam hati.
“Kamu sudah sadar, Tari?”tanya sebuah suara di dekatku.
Aku menoleh. Bu Susi berdiri di dekatku. Raut mukanya terlihat cemas.
“Saya dimana, Bu?”tanyaku pada Bu Susi.
“Tenang saja. Sekarang kamu ada di ruang UKS. ”kata Bu Susi.         
“Jadi tadi aku pingsan”gumamku dalam hati.
“Ya Allah...”aku buru-buru bangkit dan bergegas pergi dari ruang UKS.
“Tari, tunggu! Kamu mau kemana?”seru Bu Susi.
“Maaf, bu...”aku pun berlalu. Aku berlari menyusuri ruang demi ruang menuju halaman belakang sekolah. Tapi aku hanya mendapati seorang guru dan dua orang berseragam polisi di sana. Seorang polisi sibuk mencatat, sementara  polisi yang lain terlihat berbincang dengan guru.
Ketika akan mendekat. Sebuah suara memanggilku dari arah belakang.
“Tari!.”kata suara itu. Dia adalah Leni. Sahabat baikku. Matanya terlihat sembab.
Air mataku seketika mau menetes. Namun aku menahannya. Dadaku benar-benar sesak.
“Itu tidak benar kan, Len? Yang aku lihat tadi itu bukan dia kan?”tanyaku menahan tangis.
Leni menunduk. Dia sedikit terisak. Air mataku sudah tak terbendung lagi. Leni memelukku. Kami saling terisak.
“Tiidak...ini tidak mungkin...”kataku terisak.            
“Ayo.... Bu Marni sudah menunggu  di depan gerbang.”kata Leni sabar.
“Aku tak mau ikut..”kataku
“Kenapa?”tanyanya serak.
Aku menggeleng. Tubuhku serasa lemas. Aku seperti tak punya tenaga untuk bergerak.
Aku seperti terhipnotis dan menurut saja ketika Leni menuntunku.
Sesampai di rumah, ku lihat keluargaku terlihat syok. Ibuku tak hentinya menangis. Dia beberapa kali di tenangkan oleh ibu-ibu tetangga.  Aku memandang kakak lelakiku. Dia sama sekali tak meneteskan air mata. Dia hanya tertunduk lesu terduduk di dekat ayah.
Menjelang sore, pemakaman jenazah dimulai. Pikiranku menerawang entah kemana. Selesai pemakaman yang kulihat hanya gundukan tanah bertabur bunga segar serta sebuah batu nisan bertuliskan Halida Ayu Setyani. Bayangkan saja kebersamaanku dengannya yang sudah terjalin semenjak kecil terputus dengan sebuah kejadian tragis. Dia adalah kakak  sekaligus sahabat terbaik bagiku. Segala pertanyaan menggelayutiku. Kakakku selama ini baik-baik saja. Dia tak pernah memperlihatkan kalau dia ada masalah. Aku tak tahu apa yang terjadi dengan kakakku sampai ia memutuskan untuk bunuh diri. Menjelang malam aku memutuskan untuk masuk kamar dan mengunci pintu kamarku. Ku pandangi  langit yang tampak gelap gulita dari arah jendela kamarku.  Pikiranku mulai menerawang sibuk mencari sebuah jawaban.  Aku lalu teringat sesuatu. Aku  beranjak menuju kamar kakakku. Kamarnya terlihat rapi. Aku mulai memasuki kamar. Bulu kuduku sedikit merinding. Aku mulai membuka laci mencari sesuatu. Tapi aku hanya mendapati beberapa pulpen dan pensil. Aku tak berhasil membuka laci paling bawah karena terkunci. Aku mencari kunci di meja tapi tak kutemui.
“Apa yang kamu lakukan disini?”tanya sebuah suara di belakangku. Aku terkejut. Ketika menoleh ternyata ibuku sudah berdiri di pintu.
“Oh, ngga kok. Hanya melihat-lihat saja.”jawabku sedikit gugup. Ibuku mulai memasuki ruangan.
“Lebih baik kau ke ruang depan. Banyak tamu yang datang.”kata Ibu tanpa melihatku. Pandangan matanya sibuk meneliti seisi ruangan. Aku masih tak beranjak dari ruangan. Ibu mengelus-elus kursi yang biasa di pakai kak Ayu. Ibu sepertinya tak menyadari kalau aku masih berdiri di ruangan ini. Ibu mendesah. Pandangannya terhenti ketika melihat tempat tidur. Dia menatap tempat tidur itu cukup lama. Ketika akan bergerak mendekati tempat tidur dia kaget melihatku. Mungkin ibu baru menyadari keberadaanku.
“Ibu tidak apa-apa?”
“Oh! Tidak. Lebih baik kita keluar. Tidak enak dengan para tetangga yang datang.”kata Ibu buru-buru meninggalkan ruangan. Tangannya terlihat menyeka matanya.
“Aku masih ingin disini, bu.”kataku.
“Sudahlah! Ayo kita keluar”
“Tapi, bu...”
“Ibu bilang keluar!”Aku kaget. Ibu benar-benar marah. Tak biasanya ibu membentakku hanya karena hal ini. Biasanya dia sabar dengan kebandelanku. Mungkin ibu masih syok dengan kematian kakak. Apa ibu tidak tahu kalau aku juga terpukul. Aku pun beranjak. Aku mendengar ibu mendesah. Aku berjalan dibelakangnya. Di ruang tamu, para tetangga dan kerabatku sudah berdatangan.
***
Bayangan masa lalu itu terbayang lagi di depan mataku.  Tiga tahun yang lalu aku memutuskan untuk kuliah di Yogyakarta. Tempat dimana nenek serta kerabat ibuku tinggal. Sejak itu aku belum pernah sekalipun pulang ke rumah ini. Ibu dan ayah serta kakak yang bergantian menjengukku di Yogyakarta. 
“Ri, ada Leni di depan?”seru ibu dari arah pintu.
“Oh! Iya bu. “kataku sedikit terkejut. Lamunanku tentang masa lalu seketika buyar.
“Hai! Wah tambah item kamu sekarang...”celetuk Leni begitu aku turun dari tangga.
“Ngga salah. Aku lihat malah kamu yang tambah item” kataku menanggapi celetukannya.
“Kalau aku sih memang dah item dari sananya. Padahal aku sudah pakai krim pemutih wajah tapi tampaknya krim itu tidak manjur di kulitku. Eh, ngomong-ngomong mana oleh-olehnya.”
Ketika Leni  selesai bersuara ibu datang membawa dua piring besar berisi salak pondoh dan bakpia yang aku bawa dari kampung.
“Wah, cepat banget permintaanmu terkabul. Baru aja selesai ngomong dan keluar dua piring makanan.”celetukku.
“Hehe...bisa aja kamu, Ri. Wah, makasih tante. Jadi ngerepotin.”kata Leni pada Ibuku.
“Iya...tidak apa. Masih banyak kok dibelakang.” Kata Ibu
“Wah! Bisa dibungkus nih.”seru Leni dengan nada bercanda.
“Boleh.”
“Ih! Dasar.”kataku. Leni hanya senyam-senyum menanggapi perkataanku.
“Anggap saja rumah sendiri, ya. Tante ke dapur dulu. Mau masak.”kata ibu
“Mau masak sop buntut ya tante.”
Ibuku tersenyum
“Asyik. Tante tau saja kesukaanku.”
“Heh! Memang ibuku mau masak buat kamu apa...ge-er.”seruku protes.
“Biarin...yang penting kan sop buntut...wek”katanya sambil menjulurkan lidah.
Leni memang tidak banyak berubah. Dia tidak menunjukkan sikap sungkan meski kami sudah tiga tahun tidak bertemu. Kami hanya berkomunikasi lewat handphone atau e-mail.
Leni berada di rumahku sampai selepas makan malam.
“Tidak nginep saja. Aku kan disini cuma seminggu, Len.”kataku
“Seminggu kan. Berarti masih ada enam hari lagi. Tenang saja. Sebelum kamu kembali ke Yogya aku pasti nginep. “
Aku tak bisa lagi membujuknya.
Baru saja Leni pulang pintu sudah di ketuk lagi dari luar.
Ibu yang membukakan pintu. Sebentar kemudian Ibu memberitahuku kalau Tante Fitri yang datang.
“Tante Fitri? Sendiri atau?”
“Sendiri? Mana kakakmu?”
“Di kamar, bu. Mau Tari panggilin?”
“Iya..tolong panggilin  ya....”
“Sendiko dawuh kanjeng ibu.”
Ibu tersenyum geli mendengar logat jawaku.  Maklum saja aku kan sudah tiga  tahun di Yogyakarta.  Sejujurnya aku tak begitu gembira akan kedatangan tante Fitri. Mungkin  karena kami jarang bertemu kali ya. Terakhir bertemu adalah tiga tahun lalu sewaktu tante Fitri berkunjung ke rumah ini. Waktu itu masih ada kak Ayu. Dan..
Aku terdiam di tangga. Aku baru meyadari sesuatu. Ah tidak. Mungkin itu kebetulan saja. Aku lalu bergegas menuju kamar Kak Andi.
Setelah memberitahu kedatangan Tante Fitri. Aku dan kakakku langsung menuju ruang tamu. Ibuku tampak asyik berbincang dengannya. Aku tak melihat ayah.
“Eh! Keponakan tersayangku. Kalian apa kabarnya?”
“Baik, tante.”jawab kami bersamaan.
Kami lalu bersalaman dengannya. Kecanggungan begitu terasa di ruang tamu. Ibu yang memang pintar mencairkan suasana mulai bercerita tentang ayah yang baru pulang dari bandung. Sebagian besar keluarga ayah memang tinggal di Bandung.
Aku mendengar suara motor ayah di depan. Sebentar kemudian ayah datang dengan menenteng beberapa bungkus kantong plastik.
“Darimana, yah?”tanya kak Andi.
“Dari depan. Adek, tolong ayah bawa ini ke belakang.”
Aku langsung meraih beberapa bungkus kantong plastik yang dibawa ayah dan membawanya ke dapur. Dari aromanya sih sepertinya ayam bakar dan yang besar ini sepertinya semangka. Dan benar saja setelah ku buka ternyata memang benar ayam bakar.
“Dipindahin ke piring, Ri!”kata ibu di belakangku.
“Iya, bu.”
“Sini semangkanya! Biar ibu yang potong.”kata Ibu sambil meletakkan beberapa bungkus plastik.
“Itu apa, bu?”
“Kue. Tadi Tante Fitri yang bawa.”
“O..”
“Ayah beli ayam bakarnya banyak sekali, bu. Bukannya ibu tadi juga masak ayam, ya.”celetukku.
“Sudah tidak apa-apa. Takutnya nanti tidak cukup.”
“Yang datang kan cuma tante Fitri, bu.”
“Sudah. Tidak apa-apa. Tidak enak.”
“Ayah sama ibu kebiasaan deh.”
“Kamu itu kalau sama saudara jangan perhitungan begitu.”
“Bukan perhitungan, Bu. Tapi kan sayang kalau mubadzir. Ibu kan sering begitu. Sudah masak. Ada tamu masih beli masakan lagi. Yang ada juga kebuang.”
“Kamu itu sudah kayak ibu rumah tangga saja. Sudah! Bawa ke ruang makan ayamnya. Sekalian lalapan sama sambelnya jangan lupa”
“Beres, ibuku sayang.”
Beberapa menit kemudian pembicaraan dilanjutkan di ruang makan. Aku dan Ibu yang masih kenyang hanya mencicipi ayam gorengnya saja. Sementara kakak dan Ayah ikut makan bersama tante Fitri. Kakak masih terlihat lahap makannya padahal tadi sudah makan banyak. Aku heran terbuat dari apa sih perut kakakku itu.
Aku mengamati tante Fitri. Dia terlihat lahap. Mungkin dia menyadari kalau aku memperhatikannya karena dia langsung memandangku.
“Tante makannya banyak, ya. Maklum, tante dari siang belum makan. Biasa, di jalan suka males makan. Bau kendaraan sih. Tari kok makannya sedikit?”
Aku jadi canggung menanggapinya.”Tadi sudah makan kok, tante. Masih kenyang sebenarnya.”
“O, begitu...”katanya kembali melahap makanan di depannya.
“Dik.  Dik raja  berapa lama di Surabaya?”tanya Ayah pada tante Fitri
“Katanya sih seminggu, mas. Tidak tahu itu. Kunjungan kerja kok lama banget.”kata tante Fitri sedikit sewot.
Tante fitri kembali melihatku. Aku yang merasa diperhatikan ikut memandangnya. Tante Fitri tersenyum samar kemudian pandangannya beralih ke arah buah semangka di samping kirinya. Dia mengambil sepotong dan melahapnya. Aku jadi takut melihatnya. Hawa tak enak mulai menyelimutiku.
Tante Fitri menginap di rumahku kurang lebih sepekan. Menunggu suaminya pulang. Tante Fitri bukanlah keluarga dekat ibu.  Ibu tante Fitri adalah ipar nenekku dari pihak ibu.
Jam sepuluh lewat seperempat aku sibuk menulis di meja belajarku ketika pintu diketuk. Ketika dibuka ternyata tante fitri sudah berdiri di depan pintu kamarku.
“Hehe...dah tidur, ya. Tante boleh masuk?”tanyanya ramah.
“Oh! Boleh tante.”kataku mempersilahkan tante Fitri masuk.
Aku tak menutup pintu kamarku.
“Ditutup saja pintunya. Aku pengen ngobrol nih. Tidak mengganggu kan.”
Aku masih sedikit takut dengannya.”Tak apa kok Tante biasanya kalau temanku ke rumah, pintu kamarku juga terbuka.”kataku menolak.
“O, begitu. Ya, sudah. Lagi ngapain?”kata Tante Fitri mendekat untuk melihat tulisanku.
Aku buru-buru mengambil buku diaryku.
“Eh, pake rahasia segala. Kakakmu saja tidak.”katanya
Aku mengkerutkan kening. Aku tahu kak Ayu juga suka menulis di buku Diary. Tapi masak sih kakakku menceritakan semua yang ditulisnya pada Tante Fitri. Apalagi mereka baru beberapa hari bertemu.
“Emang, tante tahu kalau Kak Ayu suka nulis Diary?”tanyaku penasaran.
Tante Fitri mengangguk. Dia tersenyum ramah.”Punya rahasia itu perlu, tapi kita juga jangan terlalu tertutup.”
“Maksudnya?”kataku berlagak pikun.
“Biasanya orang yang suka menulis di Diary itu, tipe orang yang tertutup.”katanya menjelaskan.
“Tidak juga tante. Aku nulis di buku Diary karena memang aku suka nulis. Aku juga sering menceritakan tentang apa yang aku tulis pada teman-temanku.“
“Masak. Wah, berarti tante salah. Coba ceritakan apa yang kamu tulis. Bolehkan tantemu ini tahu. Teman-temanmu saja boleh tahu masak tantemu ini tidak.”
“Orang ini aneh banget. Meski dia terbilang tanteku tapi kan kami tidak pernah akrab.”gumamku dalam hati.  
“Tante boleh lihat kan.”tante Fitri berusaha merebut buku Diaryku seperti anak kecil yang berebut mainan dengan temannya. Tak ayal aku mati-matian mempertahankannya dan memasukkannya di laciku kemudian menguncinya. Tante Fitri tersenyum.
“Ada apa ini? Gaduh banget kayaknya.”seru ibu dari arah pintu. Rupanya keributan kecil ini menarik perhatian ibuku.
“Tidak ada apa-apa kok, bu.”jawabku. Aku memandang tante Fitri. Dia terlihat  seperti tidak nyaman akan kedatangan ibuku.
“Baiklah kalau tante tak boleh tahu. Ya, Sudah tante ke kamar dulu, ya. Mari mba, aku ke kamar dulu, ya. Sudah ngantuk, nih.” Katanya sambil berlalu.
“Oh! Iya.” Ibu  hanya bisa terbengong-bengong memandang tante Fitri yang menjauh.
“Orang ini benar-benar aneh.”gumamku dalam hati.
“Kalian seru sekali bercandanya. Ibu jadi pengen ikutan. Eh, giliran kesini malah berhenti.”kata Ibu
“Ngga, kok Bu. Tante Fitri juga belum lama kok ke kamar ini.”kataku. Aku  tak sengaja memandang pintu dan melihat bayangan seseorang.
“Apa tante Fitri masih di luar kamar?”gumamku dalam hati.
Aku pura-pura menutup pintu. Aku mendengar suara langkah kaki bergegas menjauh. Ketika ku tengok sudah tidak ada siapa-siapa. Kamar yang ditempati tante Fitri adalah kamar kak Ayu. Sebenarnya aku tak begitu setuju. Tapi selain kamar kak Ayu, tidak ada kamar kosong lagi.
“Ya, sudah. Tidur sana. Jangan lupa sikat gigi dan wudhu, dan ingat berdo’a sebelum tidur.”kata Ibu menasehati.
“Ih, aku kan bukan anak kecil lagi, Bu.”kataku sewot.
“Memang nasehat itu hanya untuk anak kecil saja. Ya, sudah. Buruan sana.”
Aku langsung bergegas.
Malam yang sungguh mengherankan. Dulu kedatangan tante Fitri yang mendadak tiga tahun yang lalu juga penuh tanda-tanya. Tanpa kabar berita terlebih dahulu. Dulu dia juga sepekan menginapnya di rumah ini. Sekarang sepekan juga. Entah apa yang terjadi. Ups. Kenapa aku jadi berprasangka yang tidak-tidak begini.
***
(to be continued)



















2 komentar:

  1. to be contined ..., bikin penasaran aja ..., lanjut!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tunggu saja...masih dalam proses...terimakasih dah berkunjung...

      Hapus

 

Designed by Simply Fabulous Blogger Templates \ Provided By Free Website Templates | Freethemes4all.com

Free Website templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates