Sabtu, 16 Maret 2013

Di ujung senja ( Bab III)

Cerita sebelumnya...
Tari begitu senang mendapatkan Buku Diary milik kakaknya. Tapi dia kecewa karena buku itu tidak sesuai dengan harapannya. Sebuah tanda tanya pun muncul..
Apa mungkin buku yang saat ini dia pegang ini sebenanrnya bukan buku yang ia cari?

III  MEMORI YANG HILANG

Suatu hal yang aneh. Kenapa aku duduk di kursi  taman ini. Seolah ada yang mendorongku untuk selalu datang ke tempat ini. Aku ingat, tadi siang Bu Diah berkata:"Tari, aku sangat yakin kalau buku diary kakakmu itu terisi penuh. Maafkan ibu, Tari. Ibu sudah berbohong padamu. Sebenarnya Ibu sudah membaca buku diary kakakmu. Tapi itu terjadi setelah kakakmu meninggal. Ibu begitu penasaran ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi dengan kakakmu. Makanya untuk melampiaskan rasa penasaran ibu, ibu membacanya. Maafkan ibu, ya Tari!"kata Bu Diah dengan penuh penyesalan.
Aku terdiam. 
"Tari...maafkan Ibu!"kata Bu Diah. Kali ini matanya berkaca-kaca.
"Sudahlah, Bu. Yang ingin Tari tanyakan. Kenapa Buku diarynya tidak seperti yang ibu katakan?"tanyaku penasaran
"Maksud Tari apa?"
"Yah, waktu Tari buka bukunya. Disana hanya berisi selembar saja. Apa ibu tidak salah ngasih buku?"tanyaku
"Itu tidak mungkin. Ibu tidak mungkin salah ngasih buku. Bukunya Ayu ya itu. Ibu tahu persis."katanya sambil mengerutkan kening. Sepertinya Bu Diah sedang berfikir.
"Apa mungkin..."katanya menebak
"Apa, Bu!"tanyaku
"Ah, tidak."katanya.
"Maksud ibu apa? Tidak apanya, Bu. Tolong! Beritahu Tari apa yang Ibu fikirkan?"tanyaku memaksa.
"Waktu ibu membuka laci dimana buku itu ibu simpan. Letak buku itu sudah berubah. Ibu sangat teliti kalau menaruh sesuatu. Tidak mungkin ibu salah."katanya
"Apa maksud ibu, buku itu ada yang menukar?"tanyaku penasaran
"Tapi...sewaktu ibu pulang kemarin. Laci itu masih terkunci. Kalau ada yang membuka pasti sudah rusak. Kuncinya kan selalu ibu bawa kalau bepergian karena disana juga ada barang-barang berharga ibu."katanya menjelaskan.
"Berarti ada yang punya kunci serepnya. Atau ada yang ahli membuka kunci tanpa harus memakai kuncinya..."tebakku. Kami sama-sama berfikir. 
"Tapi..sekarang tidak penting. Yang Tari inginkan adalah  hanya ingin tahu apa yang di tulis Kak Ayu di buku itu. Bisa ibu jelaskan pada saya?"
"Baiklah."Kata Bu Diah.
Tok..tok..
Seorang suster rumah sakit masuk. 
"Maaf, mba.."kata Suster itu. Dia membawa nampan berisi nasi dan pelengkapnya. 
Saat bersamaan, Pak Ruslan dan dua anaknya beserta seorang perempuan berkerudung masuk. 
"Oh! Dik Tari, to..sudah lama kesini?"tanya Pak Ruslan.
"Baru sekitar sepuluh menit, Pak."kataku. Ada mereka, aku menjadi tak nyaman ingin menanyakan lagi perihal buku diary Kak Ayu pada bu Diah.
"Ceritanya besok saja ya, Ri. Ibu janji..."kata Bu Diah meyakinkan. Aku mengerti. Aku memutuskan untuk pulang. Aku lalu berpamitan dan berjanji akan datang lagi esok. 
Senja menorehkan warna jingganya yang menawan. Aku mulai beranjak dari taman itu. Warna indah senja yang terhampar di hadapanku tak mampu menghapus rasa penasaranku. 
Saat aku hendak menuntun sepeda motorku, handphoneku berdering. Nama Leni tertera disana.
"Assalamu'alaikum..."sapa Leni
"Wa'alaikum salam, Len."
"Kamu dah dapat kabar belum kalau Bu Diah meninggal.."
Aku terpaku. Jantungku seperti berhenti berdetak..
"Meninggal?"gumamku tak percaya. Aku seperti mau roboh. Bu Diah memang bukan orang terdekatku. Tapi dia amat penting bagiku. Dialah sumber informasiku tentang Kak Ayu. Aku jadi frustasi. Beberapa jam lalu aku masih memiliki harapan. Seketika harapan itu buyar begitu saja.
"Tari? Kamu masih disana? Halo...Tari...Kau.."
"Eh, iya, Len..Inalillahi wainnaillaihi roji,un..."Kataku terbata. Aku menyeka air mataku.
"Besok kita kesana pagi-pagi, ya. Huhh..Kasihan sekali keluarga Bu Diah. Rumahnya baru saja terbakar. Sekarang Bu Diahnya meninggal. Cobaan kok beruntun."kata Leni. Kata-katanya seperti melayang didepanku tanpa terekam di memoriku. Ragaku seperti berada di alam lain.
"Hei! Kamu diam saja!Kau tak mendengarkan aku!"kata Leni berteriak diseberang sana.
"Oh!" Aku terkesiap.
"Kenapa, Len?"tanyaku
"Tau, ah."katanya kesal.
"Maaf...aku masih tak percaya. Tadi siang aku nengok Bu Diah. Beliau masih baik-baik saja.."jawabku.
"Ajal seseorang mana ada yang tahu, Ri. Ya, sudah sampai ketemu besok. Aku kerumahmu pagi-pagi, ya.."
"Iya.."
"Assalamu'alaikum..."
Wa'alaikum salam.."jawabku

TO BE CONTINUED...


Selasa, 05 Maret 2013

Ketika dunia tak sempurna

Mendung masih menyapa. Buku tebal di tas ranselku membuat pundakku kebas. Aku mendesah. Kali ini lalu lintas kota Yogya begitu padat. Melihat ini aku rasanya ingin memiliki sayap agar bisa terbang cepat sampai tujuan. Malam nanti aku harus berkejaran dengan waktu. Laporan praktikum yang harus ku kerjakan menanti di depanku. Sungguh dua bulan ini rasanya kepalaku seperti diaduk. 
"Hai! Buru-buru  amat sampai tidak lihat orang disekitarmu."sapa seorang perempuan yang membuatku menghentikan langkah cepatku begitu aku sampai di perpustakaan.
"Aduh! Lina, maaf. Aku tak lihat."jawabku sedikit terengah.
"Tak apa. Mau ke lantai dua, kan. Aku ikut, ya.."katanya sambil melihat dua buku tebal di tanganku.Buku itu aku keluarkan saat memasuki lantai dasar gedung perpustakaan.
"Ya. Ayo!"sahutku
Aku berjalan cepat. Lina sedikit terengah mengikutiku. "Rin! Pelan-pelan dong!"keluhnya
"Hehe...maaf. Aku biasa jalan cepat."
Aku lalu mengurangi kecepatan langkahku.
"Masih ngekos di Gria Ayu?"tanyanya
Aku mengangguk.
"Masih betah saja, sih. Sudah diperlakukan begitu juga."
 Aku tak menanggapinya.
"Rin?"tanyanya
"Apa?"sahutku
"Kamu ngekos di tempatku saja. Kebetulan kamar di sebelahku sudah kosong."
"Nanti aku pikirkan."
"Jangan bilang kalau kamu tak enak dengan mereka."katanya menebak.
Aku tersenyum. 
"Sudahlah! Kamu pindah saja. Memang kamu mau tertekan terus. Sudah saatnya kamu pergi. Kalau kamu tinggal berlama-lama kamu tak akan bisa menemukan dirimu di sana. Berteman dengan orang-orang yang katanya pandai berwacana itu bagus. Tapi menurutku kamu akan tenggelam karena tempatmu bukan disitu."
"Aku tahu. Aku tak bisa seperti mereka. Sekuat apapun aku mencoba aku hanya akan binasa. Aku tahu aku bukan tipe orang yang pandai merangkai kata menjadi kalimat bermakna tapi setidaknya banyak yang bisa aku pelajari dari kebersamaanku bersama mereka."jawabku putus asa.
"Tapi..apakah mereka tahu kalau kamu butuh support dari mereka. Aku lihat mereka bukannya memberi dukungan tapi malah semakin menenggelamkan kamu. Coba aku ingin tahu. Apa mereka tahu apa yang kamu mau. Kamu tak bisa bercerita dengan lepas seperti kamu bercerita denganku. Yah, aku tahu kamu menjadi lebih berani bicara di depan umum. Tapi coba katakan pada hatimu. Apakah itu yang kamu mau?"
"Cukup, Lin!"
"Baiklah. Aku diam. Jangan salahkan aku jika kamu malah semakin terpuruk."
Itu adalah terakhir kalinya aku bertemu Lina. Sekalipun ini sudah dua tahun lamanya. Mungkin benar jika pilihanku salah. Sampai saat ini aku masih mencari apa sesungguhnya yang paling aku inginkan. Selama ini aku hanya sebagai peniru dan pengikut. Aku tahu itu bukan diriku. Keputusanku untuk bergabung dengan organisasi ekstra telah membuatku tertekan. Itu bukan jiwaku. Tidak ada yang salah dengan organisasi itu. Aku tertekan karena aku tak bisa seperti mereka. Parahnya tidak ada satupun diantara mereka yang berhasil membuatku berkembang. Aku rasanya ingin lari. Sungguh aku seperti berada dalam dunia yang asing. Aku terpojok dan terjatuh pun  mereka tak tahu. Tidak ada yang percaya padaku. Sebelumnya aku memang pribadi tertutup, bersama mereka aku menjadi sedikit terbuka tapi akhirnya pribadiku tertutup berubah menjadi lebih tertutup lagi ketika aku semakin dalam bersama mereka. Itu adalah salahku yang terlalu memaksakan diri.
Saat ini aku harus melangkah. Meski bayang-bayang keterpurukankanku dimasa lalu masih menghantuiku hingga kini.
Kring...kring...
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam. Ini aku Lina."kata suara di seberang telphon.
"Lina! Ya, ampun, Lin. Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu."jawabku.
"Baik. Kamu gimana? Sehat?"
"Alhamdulillah Sehat."jawabku
"Aku dengar sekarang kamu sibuk membuat kerajinan tangan, ya? Jadi pengusaha dong sekarang"
"Belum disebut pengusaha. Masih merintis kok. Aku senang dengan kegiatan ini. Meski ribet, tapi aku menikmatinya."jawabku.
 "O,ya. Akhirnya kamu menemukan apa yang kamu mau."jawabnya riang.
"Apa!"seruku tak mengerti
"Iya. Itulah dirimu. Dulu aku kan sudah bilang. Kamu tak akan bisa menemukan dirimu yang sesungguhnya kalau terus ditengah-tengah mereka. Kamu akan terfokus agar bisa seperti mereka. Padahal seharusnya kamu harus menjadi dirimu sendiri. Meski bagi mereka itu adalah sesuatu yang berbeda dan aneh. Tapi kalau kamu nyaman dan enjoy berarti kamu sudah menemukan apa yang kamu mau, Rin."
"Kamu benar. Aku malah belum berfikir ke arah sana."
"Telmi, sih.."
"Enak saja."
"Tapi tidak juga, Lin. Bersama mereka aku menjadi suka mengembangkan tulisan. Lewat curahan hatiku di buku diary tentunya. Bukankah itu adalah modal awal menjadi penulis. Siapa tahu aku menjadi penulis beneran. Temanku pernah bilang. Jangan baca buku punya orang terus, dong. Kapan bisa punya buku sendiri. Aku bilang, iya, ya...hehehe.."
"Temanmu yang mana?"
"Teman kerjaku dulu."jawabku
"Oh."katanya singkat.
Aku sekarang sadar. Memaksakan diri itu bukanlah jalan keluar yang terbaik. Menjadi diri sendiri dan belajar untuk menemukan potensi yang ada pada diri itulah yang lebih utama. Aku tak akan pernah menyesal berada bersama mereka. Bersama mereka aku bisa belajar banyak hal. Meski itu hanya berupa sebuah celah kecil. Itu cukup sebagai bekalku  untuk berlari menjauhi dunia gelap yang mengungkungku.

NB: Cerpen singkat ini sudah saya kembangkan...klik: www.isengajamenulis.blogspot.com











Merawat bunga mawar

Apa yang kalian lakukan jika melihat bunga mawar yang tumbuh di halaman atau di sebuah taman di pusat kota. Memetiknya kah? Atau membiarkannya. Mawar memang indah. Warnanya yang indah dan bentuknya yang menawan seolah melupakan segala kepenatan dan stres yang sedang menghantui kita. 

Bunga yang sungguh mempesona menginspirasi banyak orang. Ada banyak hal yang bisa dilakukan dengan bunga. Bunga mawar yang tumbuh di bumi ini memiliki warna yang beragam dari yang merah, kuning, bahkan sampai yang berwarna hitam pun ada. Bunga mawar tak hanya dapat dinikmati warna dan keindahan bentuknya. Bunga ini juga bisa digunakan untuk kosmetika, obat, bahkan minuman. 

Karena senang dengan warnanya yang indah saya tertarik untuk menanamnya di pot. Tapi sayang karena kurang pengetahuan bunga itu jadi layu, kalau pun hidup menjadi tak berbunga lagi. Akhirnya saya temukan juga cara menanam bunga mawar di pot. Karena takut lupa makanya saya posting di blog saja...

PENANAMAN
  • Sebaiknya gunakan pot dari tembikar, tanah liat atau semen cor. Penggunaan pot plastik hanya akan menyebabkan akar mudah membusuk karena kurangnya oksigen akibat tidak adanya pori-pori pada pot.
  • Untuk media tanam perbandingannya 1:1:1/4 antara tanah, pupuk kandang dan pasir halus.
  • Bungkus media tanam dahulu agar mikroorganisme pembusuk mati dan mawar terhindar dari penyakit.
  • Gunakan potongan bata atau batu kecil di dasar pot agar kelebihan air siraman dapat segera keluar.
  • Pemotongan dan penggantian media tanam setiap 1-2 tahun sekali agar tumbuh sehat dan subur.
PERAWATAN
  • Gunakan asam benzoat pada air agar bakteri pembusuk dapat diperlambat.
  • Agar kesegarannya tahan lama, gunakan nutrisi khusus bunga potong (Bisa didapat di toko bunga)
  • Turunkan air pada PH netral dengan asam sitrat 200 mg per liter air agar tidak menimbulkan dehidrasi.
  • Agar serapan air bisa optimal potonglah pangkal batang menyerong agar didapat penampang batang yang besar.
  • Potong daun yang dianggap tak perlu sehingga pemasukan makanan bisa mencukupi.
  • Terlalu sering menyiram bunga dapat menyebabkan pembusukan akar. Siramlah bunga secukupnya agar kesegarannya terjaga.
Semoga bermanfaat


Jumat, 01 Maret 2013

Di ujung senja (Bab II)

II Diary Biru laut

Cerita sebelumnya...
Tari bermimpi bertemu Ayu didalam mimpinya. Di mimpi itu dia mendapat petunjuk yaitu sebuah Diary biru laut milik Ayu...




Senja kian mendekat. Aku masih tak bergerak. Diam disebuah taman tengah kota. Menatap hamparan rumput hijau di depanku. Aku tak menyadari ada seseorang yang duduk di sebelahku.
“Mba!”Serunya memanggilku. Lamunanku seketika buyar. Seorang wanita setengah baya sudah duduk disebelahku. Dia membawa beberapa tas plastik di dekatnya. Mungkin dia habis belanja di supermarket.
“Eh! Bu!”jawabku tergagap
“Siang-siang kok ngelamun di tempat seperti ini. Bahaya tahu, mba.”katanya. Aku hanya tersenyum tanpa melihatnya.
“Mau!”katanya menyodorkan sebungkus camilan kepadaku. Aku menggeleng. Aku kaget begitu memperhatikan wajahnya. Aku tak menyadari kalau yang duduk di sampingku adalah Bu Diah, Guru Matematika di SMA ku.
“Bu Diah!”seruku tak percaya
“Eh, iya. Kok Tahu. Ini siapa..Ibu kok lupa. Maklum sudah tua.”
“Saya Tari, Bu. Ibu masih ingat, Tari yang waktu itu...”
 “O, iya...”katanya sambil mengamatiku.
“Tari adiknya Ayu, kan. Pantesan tadi serasa kenal.”katanya melanjutkan. Aku tercengang.
“I! Iya...”kataku tak nyaman.
Kejadian yang menimpa kakakku agaknya masih dikenang oleh para Guru di Sekolahku.
“Aku turut prihatin dengan kakakmu. Dia gadis yang baik dan pintar. Ibu tak habis pikir kenapa dia melakukan itu.”katanya tanpa memandangku. Suasana menjadi lebih tak nyaman bagiku. Aku ingin sekali lari dari tempat ini.
Aku memilih diam. Pikiranku menerawang seolah mencari-cari sesuatu. Tiba-tiba ada ide aneh muncul dikepalaku.
“Bu! Waktu kakak saya meninggal apa ada sesuatu yang ganjil sehari atau ibu melihat ada yang aneh begitu.”kataku
“Maksud Tari apa? Ibu kok tak mengerti?”tanyanya bingung.
“Maksud Tari apa ibu melihat ada gerak-gerik yang aneh dari kakakku atau orang-orang didekatnya begitu.”kataku menjelaskan.
“O..Ibu tidak begitu memperhatikan. Tapi setahu ibu tidak ada. Wajar saja. Tidak ada yang ganjil.”kata Bu Diah.
Aku kecewa. Aku berharap Bu Diah bisa memberiku jawaban yang aku inginkan. Bu Diah adalah Guru yang paling dekat dengan Kak Ayu.
“O,ya. Apa Tari kenal dengan yang namannya  Bu Fitri? Dia menemui Ibu kemaren sore. Katanya dia tantemu?”tanyanya. Aku kaget mendengarnya. Untuk apa tante Fitri ke rumah Bu Diah.
“Dia berambut ikal dan ada tahi lalat di pipi kanannya?Kalau iya, ya benar dia memang tante saya.”
“Memang tante Fitri ada keperluan apa ke rumah Ibu?”
“Dia hanya silaturahmi saja. Katanya dia mendengar dari Ayu kalau Ibu ini Guru terdekatnya Ayu. Jadi mumpung dia  ke Jakarta sekalian mampir?”katanya menjelaskan.

Sabtu, 16 Maret 2013

Di ujung senja ( Bab III)

Cerita sebelumnya...
Tari begitu senang mendapatkan Buku Diary milik kakaknya. Tapi dia kecewa karena buku itu tidak sesuai dengan harapannya. Sebuah tanda tanya pun muncul..
Apa mungkin buku yang saat ini dia pegang ini sebenanrnya bukan buku yang ia cari?

III  MEMORI YANG HILANG

Suatu hal yang aneh. Kenapa aku duduk di kursi  taman ini. Seolah ada yang mendorongku untuk selalu datang ke tempat ini. Aku ingat, tadi siang Bu Diah berkata:"Tari, aku sangat yakin kalau buku diary kakakmu itu terisi penuh. Maafkan ibu, Tari. Ibu sudah berbohong padamu. Sebenarnya Ibu sudah membaca buku diary kakakmu. Tapi itu terjadi setelah kakakmu meninggal. Ibu begitu penasaran ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi dengan kakakmu. Makanya untuk melampiaskan rasa penasaran ibu, ibu membacanya. Maafkan ibu, ya Tari!"kata Bu Diah dengan penuh penyesalan.
Aku terdiam. 
"Tari...maafkan Ibu!"kata Bu Diah. Kali ini matanya berkaca-kaca.
"Sudahlah, Bu. Yang ingin Tari tanyakan. Kenapa Buku diarynya tidak seperti yang ibu katakan?"tanyaku penasaran
"Maksud Tari apa?"
"Yah, waktu Tari buka bukunya. Disana hanya berisi selembar saja. Apa ibu tidak salah ngasih buku?"tanyaku
"Itu tidak mungkin. Ibu tidak mungkin salah ngasih buku. Bukunya Ayu ya itu. Ibu tahu persis."katanya sambil mengerutkan kening. Sepertinya Bu Diah sedang berfikir.
"Apa mungkin..."katanya menebak
"Apa, Bu!"tanyaku
"Ah, tidak."katanya.
"Maksud ibu apa? Tidak apanya, Bu. Tolong! Beritahu Tari apa yang Ibu fikirkan?"tanyaku memaksa.
"Waktu ibu membuka laci dimana buku itu ibu simpan. Letak buku itu sudah berubah. Ibu sangat teliti kalau menaruh sesuatu. Tidak mungkin ibu salah."katanya
"Apa maksud ibu, buku itu ada yang menukar?"tanyaku penasaran
"Tapi...sewaktu ibu pulang kemarin. Laci itu masih terkunci. Kalau ada yang membuka pasti sudah rusak. Kuncinya kan selalu ibu bawa kalau bepergian karena disana juga ada barang-barang berharga ibu."katanya menjelaskan.
"Berarti ada yang punya kunci serepnya. Atau ada yang ahli membuka kunci tanpa harus memakai kuncinya..."tebakku. Kami sama-sama berfikir. 
"Tapi..sekarang tidak penting. Yang Tari inginkan adalah  hanya ingin tahu apa yang di tulis Kak Ayu di buku itu. Bisa ibu jelaskan pada saya?"
"Baiklah."Kata Bu Diah.
Tok..tok..
Seorang suster rumah sakit masuk. 
"Maaf, mba.."kata Suster itu. Dia membawa nampan berisi nasi dan pelengkapnya. 
Saat bersamaan, Pak Ruslan dan dua anaknya beserta seorang perempuan berkerudung masuk. 
"Oh! Dik Tari, to..sudah lama kesini?"tanya Pak Ruslan.
"Baru sekitar sepuluh menit, Pak."kataku. Ada mereka, aku menjadi tak nyaman ingin menanyakan lagi perihal buku diary Kak Ayu pada bu Diah.
"Ceritanya besok saja ya, Ri. Ibu janji..."kata Bu Diah meyakinkan. Aku mengerti. Aku memutuskan untuk pulang. Aku lalu berpamitan dan berjanji akan datang lagi esok. 
Senja menorehkan warna jingganya yang menawan. Aku mulai beranjak dari taman itu. Warna indah senja yang terhampar di hadapanku tak mampu menghapus rasa penasaranku. 
Saat aku hendak menuntun sepeda motorku, handphoneku berdering. Nama Leni tertera disana.
"Assalamu'alaikum..."sapa Leni
"Wa'alaikum salam, Len."
"Kamu dah dapat kabar belum kalau Bu Diah meninggal.."
Aku terpaku. Jantungku seperti berhenti berdetak..
"Meninggal?"gumamku tak percaya. Aku seperti mau roboh. Bu Diah memang bukan orang terdekatku. Tapi dia amat penting bagiku. Dialah sumber informasiku tentang Kak Ayu. Aku jadi frustasi. Beberapa jam lalu aku masih memiliki harapan. Seketika harapan itu buyar begitu saja.
"Tari? Kamu masih disana? Halo...Tari...Kau.."
"Eh, iya, Len..Inalillahi wainnaillaihi roji,un..."Kataku terbata. Aku menyeka air mataku.
"Besok kita kesana pagi-pagi, ya. Huhh..Kasihan sekali keluarga Bu Diah. Rumahnya baru saja terbakar. Sekarang Bu Diahnya meninggal. Cobaan kok beruntun."kata Leni. Kata-katanya seperti melayang didepanku tanpa terekam di memoriku. Ragaku seperti berada di alam lain.
"Hei! Kamu diam saja!Kau tak mendengarkan aku!"kata Leni berteriak diseberang sana.
"Oh!" Aku terkesiap.
"Kenapa, Len?"tanyaku
"Tau, ah."katanya kesal.
"Maaf...aku masih tak percaya. Tadi siang aku nengok Bu Diah. Beliau masih baik-baik saja.."jawabku.
"Ajal seseorang mana ada yang tahu, Ri. Ya, sudah sampai ketemu besok. Aku kerumahmu pagi-pagi, ya.."
"Iya.."
"Assalamu'alaikum..."
Wa'alaikum salam.."jawabku

TO BE CONTINUED...


Selasa, 05 Maret 2013

Ketika dunia tak sempurna

Mendung masih menyapa. Buku tebal di tas ranselku membuat pundakku kebas. Aku mendesah. Kali ini lalu lintas kota Yogya begitu padat. Melihat ini aku rasanya ingin memiliki sayap agar bisa terbang cepat sampai tujuan. Malam nanti aku harus berkejaran dengan waktu. Laporan praktikum yang harus ku kerjakan menanti di depanku. Sungguh dua bulan ini rasanya kepalaku seperti diaduk. 
"Hai! Buru-buru  amat sampai tidak lihat orang disekitarmu."sapa seorang perempuan yang membuatku menghentikan langkah cepatku begitu aku sampai di perpustakaan.
"Aduh! Lina, maaf. Aku tak lihat."jawabku sedikit terengah.
"Tak apa. Mau ke lantai dua, kan. Aku ikut, ya.."katanya sambil melihat dua buku tebal di tanganku.Buku itu aku keluarkan saat memasuki lantai dasar gedung perpustakaan.
"Ya. Ayo!"sahutku
Aku berjalan cepat. Lina sedikit terengah mengikutiku. "Rin! Pelan-pelan dong!"keluhnya
"Hehe...maaf. Aku biasa jalan cepat."
Aku lalu mengurangi kecepatan langkahku.
"Masih ngekos di Gria Ayu?"tanyanya
Aku mengangguk.
"Masih betah saja, sih. Sudah diperlakukan begitu juga."
 Aku tak menanggapinya.
"Rin?"tanyanya
"Apa?"sahutku
"Kamu ngekos di tempatku saja. Kebetulan kamar di sebelahku sudah kosong."
"Nanti aku pikirkan."
"Jangan bilang kalau kamu tak enak dengan mereka."katanya menebak.
Aku tersenyum. 
"Sudahlah! Kamu pindah saja. Memang kamu mau tertekan terus. Sudah saatnya kamu pergi. Kalau kamu tinggal berlama-lama kamu tak akan bisa menemukan dirimu di sana. Berteman dengan orang-orang yang katanya pandai berwacana itu bagus. Tapi menurutku kamu akan tenggelam karena tempatmu bukan disitu."
"Aku tahu. Aku tak bisa seperti mereka. Sekuat apapun aku mencoba aku hanya akan binasa. Aku tahu aku bukan tipe orang yang pandai merangkai kata menjadi kalimat bermakna tapi setidaknya banyak yang bisa aku pelajari dari kebersamaanku bersama mereka."jawabku putus asa.
"Tapi..apakah mereka tahu kalau kamu butuh support dari mereka. Aku lihat mereka bukannya memberi dukungan tapi malah semakin menenggelamkan kamu. Coba aku ingin tahu. Apa mereka tahu apa yang kamu mau. Kamu tak bisa bercerita dengan lepas seperti kamu bercerita denganku. Yah, aku tahu kamu menjadi lebih berani bicara di depan umum. Tapi coba katakan pada hatimu. Apakah itu yang kamu mau?"
"Cukup, Lin!"
"Baiklah. Aku diam. Jangan salahkan aku jika kamu malah semakin terpuruk."
Itu adalah terakhir kalinya aku bertemu Lina. Sekalipun ini sudah dua tahun lamanya. Mungkin benar jika pilihanku salah. Sampai saat ini aku masih mencari apa sesungguhnya yang paling aku inginkan. Selama ini aku hanya sebagai peniru dan pengikut. Aku tahu itu bukan diriku. Keputusanku untuk bergabung dengan organisasi ekstra telah membuatku tertekan. Itu bukan jiwaku. Tidak ada yang salah dengan organisasi itu. Aku tertekan karena aku tak bisa seperti mereka. Parahnya tidak ada satupun diantara mereka yang berhasil membuatku berkembang. Aku rasanya ingin lari. Sungguh aku seperti berada dalam dunia yang asing. Aku terpojok dan terjatuh pun  mereka tak tahu. Tidak ada yang percaya padaku. Sebelumnya aku memang pribadi tertutup, bersama mereka aku menjadi sedikit terbuka tapi akhirnya pribadiku tertutup berubah menjadi lebih tertutup lagi ketika aku semakin dalam bersama mereka. Itu adalah salahku yang terlalu memaksakan diri.
Saat ini aku harus melangkah. Meski bayang-bayang keterpurukankanku dimasa lalu masih menghantuiku hingga kini.
Kring...kring...
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam. Ini aku Lina."kata suara di seberang telphon.
"Lina! Ya, ampun, Lin. Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu."jawabku.
"Baik. Kamu gimana? Sehat?"
"Alhamdulillah Sehat."jawabku
"Aku dengar sekarang kamu sibuk membuat kerajinan tangan, ya? Jadi pengusaha dong sekarang"
"Belum disebut pengusaha. Masih merintis kok. Aku senang dengan kegiatan ini. Meski ribet, tapi aku menikmatinya."jawabku.
 "O,ya. Akhirnya kamu menemukan apa yang kamu mau."jawabnya riang.
"Apa!"seruku tak mengerti
"Iya. Itulah dirimu. Dulu aku kan sudah bilang. Kamu tak akan bisa menemukan dirimu yang sesungguhnya kalau terus ditengah-tengah mereka. Kamu akan terfokus agar bisa seperti mereka. Padahal seharusnya kamu harus menjadi dirimu sendiri. Meski bagi mereka itu adalah sesuatu yang berbeda dan aneh. Tapi kalau kamu nyaman dan enjoy berarti kamu sudah menemukan apa yang kamu mau, Rin."
"Kamu benar. Aku malah belum berfikir ke arah sana."
"Telmi, sih.."
"Enak saja."
"Tapi tidak juga, Lin. Bersama mereka aku menjadi suka mengembangkan tulisan. Lewat curahan hatiku di buku diary tentunya. Bukankah itu adalah modal awal menjadi penulis. Siapa tahu aku menjadi penulis beneran. Temanku pernah bilang. Jangan baca buku punya orang terus, dong. Kapan bisa punya buku sendiri. Aku bilang, iya, ya...hehehe.."
"Temanmu yang mana?"
"Teman kerjaku dulu."jawabku
"Oh."katanya singkat.
Aku sekarang sadar. Memaksakan diri itu bukanlah jalan keluar yang terbaik. Menjadi diri sendiri dan belajar untuk menemukan potensi yang ada pada diri itulah yang lebih utama. Aku tak akan pernah menyesal berada bersama mereka. Bersama mereka aku bisa belajar banyak hal. Meski itu hanya berupa sebuah celah kecil. Itu cukup sebagai bekalku  untuk berlari menjauhi dunia gelap yang mengungkungku.

NB: Cerpen singkat ini sudah saya kembangkan...klik: www.isengajamenulis.blogspot.com











Merawat bunga mawar

Apa yang kalian lakukan jika melihat bunga mawar yang tumbuh di halaman atau di sebuah taman di pusat kota. Memetiknya kah? Atau membiarkannya. Mawar memang indah. Warnanya yang indah dan bentuknya yang menawan seolah melupakan segala kepenatan dan stres yang sedang menghantui kita. 

Bunga yang sungguh mempesona menginspirasi banyak orang. Ada banyak hal yang bisa dilakukan dengan bunga. Bunga mawar yang tumbuh di bumi ini memiliki warna yang beragam dari yang merah, kuning, bahkan sampai yang berwarna hitam pun ada. Bunga mawar tak hanya dapat dinikmati warna dan keindahan bentuknya. Bunga ini juga bisa digunakan untuk kosmetika, obat, bahkan minuman. 

Karena senang dengan warnanya yang indah saya tertarik untuk menanamnya di pot. Tapi sayang karena kurang pengetahuan bunga itu jadi layu, kalau pun hidup menjadi tak berbunga lagi. Akhirnya saya temukan juga cara menanam bunga mawar di pot. Karena takut lupa makanya saya posting di blog saja...

PENANAMAN
  • Sebaiknya gunakan pot dari tembikar, tanah liat atau semen cor. Penggunaan pot plastik hanya akan menyebabkan akar mudah membusuk karena kurangnya oksigen akibat tidak adanya pori-pori pada pot.
  • Untuk media tanam perbandingannya 1:1:1/4 antara tanah, pupuk kandang dan pasir halus.
  • Bungkus media tanam dahulu agar mikroorganisme pembusuk mati dan mawar terhindar dari penyakit.
  • Gunakan potongan bata atau batu kecil di dasar pot agar kelebihan air siraman dapat segera keluar.
  • Pemotongan dan penggantian media tanam setiap 1-2 tahun sekali agar tumbuh sehat dan subur.
PERAWATAN
  • Gunakan asam benzoat pada air agar bakteri pembusuk dapat diperlambat.
  • Agar kesegarannya tahan lama, gunakan nutrisi khusus bunga potong (Bisa didapat di toko bunga)
  • Turunkan air pada PH netral dengan asam sitrat 200 mg per liter air agar tidak menimbulkan dehidrasi.
  • Agar serapan air bisa optimal potonglah pangkal batang menyerong agar didapat penampang batang yang besar.
  • Potong daun yang dianggap tak perlu sehingga pemasukan makanan bisa mencukupi.
  • Terlalu sering menyiram bunga dapat menyebabkan pembusukan akar. Siramlah bunga secukupnya agar kesegarannya terjaga.
Semoga bermanfaat


Jumat, 01 Maret 2013

Di ujung senja (Bab II)

II Diary Biru laut

Cerita sebelumnya...
Tari bermimpi bertemu Ayu didalam mimpinya. Di mimpi itu dia mendapat petunjuk yaitu sebuah Diary biru laut milik Ayu...




Senja kian mendekat. Aku masih tak bergerak. Diam disebuah taman tengah kota. Menatap hamparan rumput hijau di depanku. Aku tak menyadari ada seseorang yang duduk di sebelahku.
“Mba!”Serunya memanggilku. Lamunanku seketika buyar. Seorang wanita setengah baya sudah duduk disebelahku. Dia membawa beberapa tas plastik di dekatnya. Mungkin dia habis belanja di supermarket.
“Eh! Bu!”jawabku tergagap
“Siang-siang kok ngelamun di tempat seperti ini. Bahaya tahu, mba.”katanya. Aku hanya tersenyum tanpa melihatnya.
“Mau!”katanya menyodorkan sebungkus camilan kepadaku. Aku menggeleng. Aku kaget begitu memperhatikan wajahnya. Aku tak menyadari kalau yang duduk di sampingku adalah Bu Diah, Guru Matematika di SMA ku.
“Bu Diah!”seruku tak percaya
“Eh, iya. Kok Tahu. Ini siapa..Ibu kok lupa. Maklum sudah tua.”
“Saya Tari, Bu. Ibu masih ingat, Tari yang waktu itu...”
 “O, iya...”katanya sambil mengamatiku.
“Tari adiknya Ayu, kan. Pantesan tadi serasa kenal.”katanya melanjutkan. Aku tercengang.
“I! Iya...”kataku tak nyaman.
Kejadian yang menimpa kakakku agaknya masih dikenang oleh para Guru di Sekolahku.
“Aku turut prihatin dengan kakakmu. Dia gadis yang baik dan pintar. Ibu tak habis pikir kenapa dia melakukan itu.”katanya tanpa memandangku. Suasana menjadi lebih tak nyaman bagiku. Aku ingin sekali lari dari tempat ini.
Aku memilih diam. Pikiranku menerawang seolah mencari-cari sesuatu. Tiba-tiba ada ide aneh muncul dikepalaku.
“Bu! Waktu kakak saya meninggal apa ada sesuatu yang ganjil sehari atau ibu melihat ada yang aneh begitu.”kataku
“Maksud Tari apa? Ibu kok tak mengerti?”tanyanya bingung.
“Maksud Tari apa ibu melihat ada gerak-gerik yang aneh dari kakakku atau orang-orang didekatnya begitu.”kataku menjelaskan.
“O..Ibu tidak begitu memperhatikan. Tapi setahu ibu tidak ada. Wajar saja. Tidak ada yang ganjil.”kata Bu Diah.
Aku kecewa. Aku berharap Bu Diah bisa memberiku jawaban yang aku inginkan. Bu Diah adalah Guru yang paling dekat dengan Kak Ayu.
“O,ya. Apa Tari kenal dengan yang namannya  Bu Fitri? Dia menemui Ibu kemaren sore. Katanya dia tantemu?”tanyanya. Aku kaget mendengarnya. Untuk apa tante Fitri ke rumah Bu Diah.
“Dia berambut ikal dan ada tahi lalat di pipi kanannya?Kalau iya, ya benar dia memang tante saya.”
“Memang tante Fitri ada keperluan apa ke rumah Ibu?”
“Dia hanya silaturahmi saja. Katanya dia mendengar dari Ayu kalau Ibu ini Guru terdekatnya Ayu. Jadi mumpung dia  ke Jakarta sekalian mampir?”katanya menjelaskan.
 

Designed by Simply Fabulous Blogger Templates \ Provided By Free Website Templates | Freethemes4all.com

Free Website templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates