Jumat, 01 Maret 2013

Di ujung senja (Bab II)

II Diary Biru laut

Cerita sebelumnya...
Tari bermimpi bertemu Ayu didalam mimpinya. Di mimpi itu dia mendapat petunjuk yaitu sebuah Diary biru laut milik Ayu...




Senja kian mendekat. Aku masih tak bergerak. Diam disebuah taman tengah kota. Menatap hamparan rumput hijau di depanku. Aku tak menyadari ada seseorang yang duduk di sebelahku.
“Mba!”Serunya memanggilku. Lamunanku seketika buyar. Seorang wanita setengah baya sudah duduk disebelahku. Dia membawa beberapa tas plastik di dekatnya. Mungkin dia habis belanja di supermarket.
“Eh! Bu!”jawabku tergagap
“Siang-siang kok ngelamun di tempat seperti ini. Bahaya tahu, mba.”katanya. Aku hanya tersenyum tanpa melihatnya.
“Mau!”katanya menyodorkan sebungkus camilan kepadaku. Aku menggeleng. Aku kaget begitu memperhatikan wajahnya. Aku tak menyadari kalau yang duduk di sampingku adalah Bu Diah, Guru Matematika di SMA ku.
“Bu Diah!”seruku tak percaya
“Eh, iya. Kok Tahu. Ini siapa..Ibu kok lupa. Maklum sudah tua.”
“Saya Tari, Bu. Ibu masih ingat, Tari yang waktu itu...”
 “O, iya...”katanya sambil mengamatiku.
“Tari adiknya Ayu, kan. Pantesan tadi serasa kenal.”katanya melanjutkan. Aku tercengang.
“I! Iya...”kataku tak nyaman.
Kejadian yang menimpa kakakku agaknya masih dikenang oleh para Guru di Sekolahku.
“Aku turut prihatin dengan kakakmu. Dia gadis yang baik dan pintar. Ibu tak habis pikir kenapa dia melakukan itu.”katanya tanpa memandangku. Suasana menjadi lebih tak nyaman bagiku. Aku ingin sekali lari dari tempat ini.
Aku memilih diam. Pikiranku menerawang seolah mencari-cari sesuatu. Tiba-tiba ada ide aneh muncul dikepalaku.
“Bu! Waktu kakak saya meninggal apa ada sesuatu yang ganjil sehari atau ibu melihat ada yang aneh begitu.”kataku
“Maksud Tari apa? Ibu kok tak mengerti?”tanyanya bingung.
“Maksud Tari apa ibu melihat ada gerak-gerik yang aneh dari kakakku atau orang-orang didekatnya begitu.”kataku menjelaskan.
“O..Ibu tidak begitu memperhatikan. Tapi setahu ibu tidak ada. Wajar saja. Tidak ada yang ganjil.”kata Bu Diah.
Aku kecewa. Aku berharap Bu Diah bisa memberiku jawaban yang aku inginkan. Bu Diah adalah Guru yang paling dekat dengan Kak Ayu.
“O,ya. Apa Tari kenal dengan yang namannya  Bu Fitri? Dia menemui Ibu kemaren sore. Katanya dia tantemu?”tanyanya. Aku kaget mendengarnya. Untuk apa tante Fitri ke rumah Bu Diah.
“Dia berambut ikal dan ada tahi lalat di pipi kanannya?Kalau iya, ya benar dia memang tante saya.”
“Memang tante Fitri ada keperluan apa ke rumah Ibu?”
“Dia hanya silaturahmi saja. Katanya dia mendengar dari Ayu kalau Ibu ini Guru terdekatnya Ayu. Jadi mumpung dia  ke Jakarta sekalian mampir?”katanya menjelaskan.
Aku masih belum puas dengan jawaban Bu Diah.
“Hanya itu saja, Bu?”tanyaku penasaran
“Dulu kan Ayu nitip buku sama Ibu. Ibu tak tahu mau di apain buku itu karena Ayu sempat berpesan kalau buku itu tidak boleh dibaca oleh siapapun. Ayu bilang, suatu saat dia sendiri yang akan mengambilnya.”katanya
“Buku! Buku apa, Bu? Apa maksud Ibu Buku harian?”tanyaku penasaran
“Iya.”
“Tante Fitri tahu?”
“Baru kemaren ibu bilang. Ibu keceplosan. Maklumlah keasyikan ngobrol jadinya keterusan.”katanya merasa bersalah.
“lalu...buku itu Ibu kasih ke tante Fitri?”
“Oh! Tentu tidak? Mana mungkin ibu ngasih buku yang sudah jadi amanah seseorang. Apalagi sama orang yang baru Ibu kenal.”
Aku lega mendengarnya.
“Apa boleh kalau bukunya Ibu kasih ke saya. Saya kan adiknya. Orang terdekatnya.”kataku
“ya, sudah kalau begitu. Ibu sebenarnya tidak tahu mau diapain buku itu. Orangnya kan sudah tidak ada.”katanya
“Ayo, Bu. Sekarang saja. Mumpung saya masih di Jakarta.”kataku membujuknya.
“Baiklah. Ayo!”
Kami menyusuri jalan menuju ke tempat penitipan motor.  Rupanya motor  Bu Diah juga dititipkan disana. Ketika adzan maghrib berkumandang kami sampai di depan rumah Bu Diah. Kami sama-sama heran. Banyak orang sudah berkerumun disana. Kami merangsek masuk kedalam.  Ketika masuk kedalam rumah, pemandangan bak kapal pecah terhampar didepan kami.
“Ada apa, pak?”kata Bu Diah panik pada seorang lelaki setangah baya.
“Tadi polisi kesini. Sialan mereka. Ngacak-ngacak rumah sampai kayak gini. Mereka bilang kalau rumah kita ini menyembunyikan maling yang kabur, Bu. Makanya mereka menggeledah rumah ini. Sembarangan saja. Sudah bapak bilang berkali-kali tidak ada tapi mereka tetap ngotot.”kata lelaki itu yang tak lain adalah suami Bu Diah.
“Menggeledah kok sampai begini. Mana mungkin orang bersembunyi di laci-laci meja sekecil ini.  Aneh sekali.”gumamku dalam hati.
“Kalau mau cari orang kenapa semuanya digeledah. Memang orang bisa sembunyi di laci-laci meja sesempit ini.”kata Bu Diah berang. Rupanya Bu Diah satu pemahaman denganku.
“Bapak yakin mereka polisi?”tanyaku
“Mereka bilangnya begitu. Mereka membawa lencana polisi segala. La, adik ini siapa?”tanyanya sedikit emosional.
“Saya mantan muridnya Bu Diah, Pak. Nama saya Tari. Kebetulan tadi ketemu Ibu Diah di taman dekat Supermarket.”kataku memperkenalkan diri. Suami Bu Diah memperkenalkan diri bernama Ruslan.
“O, begitu. Selamat datang dirumah saya. Tapi maaf ya, dik. Rumahnya jadi berantakan gini.“katanya lebih ramah.
“Tak apa kok, Pak. Saya maklum kok.”kataku
Aku lalu berkenalan dengan dua anak lelaki Bu Diah. Diantara mereka ada yang seumuran denganku.
“Bapak tadi diam saja waktu polisi itu menggeledah laci. Kalau ada barang berharga Ibu yang hilang bagaimana?”kata Bu Diah masih kesal.
“Mau mencegah bagaimana. Bapak sama anak-anak saja tidak boleh masuk selagi mereka menggeledah.” Katanya kesal.
“Iya, benar, Bu. Kalau mereka bukan polisi sudah Didi hajar mereka.”kata Anak Bu Diah yang paling besar.
“Kok aneh, Pak. Biasanya kan kalau polisi menggeledah rumah, pemilik rumah biasanya dilibatkan?”tanyaku penasaran
“Bapak sendiri juga heran, Dik.”katanya
“Jangan-jangan mereka penjahat yang menyamar jadi polisi, Pak.”kataku yang membuat panik seisi rumah. Bu Diah langsung masuk kamar diikuti suaminya. Sementara anak-anak mereka masuk untuk mengecek kamar masing-masing..
“Untung tidak ada barang berharga yang hilang.”kata Bu Diah lega. Aku ikut lega mendengarnya. Mungkin mereka benar polisi.

“Tari, sebentar ya. Atau kamu sholat maghrib dulu. Nanti bicaranya sehabis maghrib saja, ya.”
“Iya, Bu. Boleh saya pinjam mukenanya, Bu?”
“Silahkan. Ada di mushola dekat dapur. Jalannya dari sini lurus trus belok kiri. Nanti kita jama’ah.”katanya
“Ya, sudah. Kalau begitu bapak sholat maghrib di masjid dulu. Anggap saja rumah sendiri ya, dik Tari.”kata Pak Ruslan. Dua anak lelakinya juga ikut sholat di masjid.
Aku dan Bu Diah pada akhinya sholat berjama’ah di mushola kecil mereka. Seperti rumahku. Bu Diah juga memiliki Mushola kecil di dalam rumah.
Sehabis maghrib aku diajak keluarga Bu Diah makan bersama. Rasa masakannya tak akan pernah terlupakan. Enak sekali.
Setelah makan aku menunggu Bu Diah yang sedang mencari buku diary kakakku ditemani Pak ruslan dan dua anaknya.
“Kuliahnya dimana, dik?”tanya Pak Ruslan.
“Yogya, Pak.”kataku
“Lah, podo karo anak Bapak,  si Didi ini.”kata Pak Ruslan yang di sambut senyum anaknya. Logat jawa Pak Ruslan kental sekali.  Orang yang sekali bertemu pun akan langsung tahu kalau dia orang jawa.
“Memang mba kuliahnya di universitas apa?”tanya Didi
“UGM, mas.”
“Oh, kalau saya UNY.”kata Didi
“Tari! Ini bukunya. Ibu belum pernah membacanya. Hanya tahu kalau buku ini diisi penuh. Ibu hanya membuka bagian belakang tanpa tahu isinya.”kata Bu Diah sambil berjalan kearahku.
“Buku opo to, Bu?”tanya Pak Ruslan.
“Iki. Bukunya Ayu yang dulu bapak bilang mirip artis itu lo..”kata Bu Diah menjelaskan.
“Oh! Si Ayu! Yang meninggal itu.”katanya kaget. Aku jadi tak nyaman mendengarnya.
“La, Tari ini adiknya.”sambung Bu Diah.
“Oalah. Pantesan mirip. “katanya. Aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Bapak turut prihatin ya, Dik. “kata Pak Ruslan.
“Ya, Pak. Kalau begitu  Tari pamit. Sudah malam. Nanti keluarga di rumah pada nyari, lagi”
“Oh, iya. Iya. Hati-hati di jalan. Bapak mendoakan semoga Dik Tari selalu istiqomah. Jangan putus asa kalau ada masalah. Serahin semua yang terjadi pada Sang Pencipta. “
“Iya, Pak.”jawabku kikuk. Mungkin dia menghubungkan kejadian yang menimpa Kak Ayu denganku.
“Terima kasih banyak. Maaf saya sudah merepotkan.”sambungku
“Tidak repot, kok.”Jawab Bu Diah diiringi senyum ramah yang lainnya.
“Apa mau di anterin sama Didi?”Kata Bu Diah.
“Tidak usah, Bu. Saya kan bawa motor.”
“O, iya. Ya, sudah hati-hati. Nanti kalau butuh bantuan ibu, tinggal telphon ibu saja.”
“Iya, Bu. Terima kasih. Permisi. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”jawab mereka serempak.
Sepanjang perjalanan aku menebak-nebak kira-kira apa yang ditulis Kak Ayu didalam buku Diarynya. Lagi asyik-asyiknya naik motor. Dari arah belakang muncul motor yang melaju dengan kecepatan tinggi dan hampir menyerempetku. Aku sedikit oleng. Untung saja aku bisa mengendalikan motornya.
“Itu orang sudah bosan hidup apa.”gumamku kesal. Pengendara yang belakang melihat ke belakang sambil mengacungkan jempol kirinya kebawah.
“Apa maksudnya?”gumamku kesal
Sesampai di rumah aku langsung masuk kamar dan mengunci pintu. Belum sempat aku duduk pintu kamar sudah diketuk. Rupanya Ibuku.
“Makan dulu nanti sakit perut.”
“Tari sudah makan, Bu.”jawabku diiringi mengkerutnya kening ibuku.
“Jajan sembarangan lagi.”kata Ibu menebak.
“Ngga ibuku sayang. Khawatir banget. Tadi Tari mampir ke Bu Diah. Itu lo Guru Matematika Tari waktu SMA. Tadi ketemu di dekat Supermarket. Eh, sampai lupa.”Aku lalu masuk dan membuka tas yang tadi aku bawa.
“Ini pesanan Ibu.”kataku sambil menyodorkan bungkusan plastik berisi kemeja warna biru telur untuk Bapak.”
“Makasih, sayang. Pas ngga ukurannya.”katanya membuka bungkus plastiknya.
“Kalau ngga pas dijual lagi aja, Bu.”kataku bergurau.
“Enak saja.  Emangnya Ibumu ini apaan. Kalau ngga pas kan bisa dipakai kakakmu.”
“Benar juga.”gumamku dalam hati.
“Aku masuk dulu, Bu. Mau ganti baju. “
“Iya. Jangan lupa nanti sholat Isya dulu!”serunya.
“Ok.”
Aku langsung menutup pintu dan menguncinya. Aku sudah tak sabar ingin membaca isi buku Diarynya Kak Ayu.
Persis seperti dalam mimpiku. Diary Biru laut.  Aku lalu membuka halaman pertama. Hanya ada nama kak Ayu dan tanda smile di sana. Aku lalu membuka lembar kedua dan membacanya.
“Apa-apaan ini. Masak hanya perkenalan.”gumamku tak sabar.
Aku lalu membaca lembar kedua. Aku kaget. Kosong. Aku membuka-buka lembar berikutnya sampai terakhir. Kosong. Bu Diah bilang Diary ini di isi penuh. Tapi ini hanya selembar. Tante Fitri juga bilang, Kak Ayu menceritakan isi Diarynya padanya. Aneh sekali. Apa Bu Diah tidak salah ngasih buku.
Aku lalu menelphon Bu Diah. Handphonenya tidak aktif. Aku benar-benar kesal. Aku seperti dipermainkan.
“Permainan siapa ini”gumamku kesal.

(to be continued)
 








0 komentar:

Posting Komentar

Jumat, 01 Maret 2013

Di ujung senja (Bab II)

II Diary Biru laut

Cerita sebelumnya...
Tari bermimpi bertemu Ayu didalam mimpinya. Di mimpi itu dia mendapat petunjuk yaitu sebuah Diary biru laut milik Ayu...




Senja kian mendekat. Aku masih tak bergerak. Diam disebuah taman tengah kota. Menatap hamparan rumput hijau di depanku. Aku tak menyadari ada seseorang yang duduk di sebelahku.
“Mba!”Serunya memanggilku. Lamunanku seketika buyar. Seorang wanita setengah baya sudah duduk disebelahku. Dia membawa beberapa tas plastik di dekatnya. Mungkin dia habis belanja di supermarket.
“Eh! Bu!”jawabku tergagap
“Siang-siang kok ngelamun di tempat seperti ini. Bahaya tahu, mba.”katanya. Aku hanya tersenyum tanpa melihatnya.
“Mau!”katanya menyodorkan sebungkus camilan kepadaku. Aku menggeleng. Aku kaget begitu memperhatikan wajahnya. Aku tak menyadari kalau yang duduk di sampingku adalah Bu Diah, Guru Matematika di SMA ku.
“Bu Diah!”seruku tak percaya
“Eh, iya. Kok Tahu. Ini siapa..Ibu kok lupa. Maklum sudah tua.”
“Saya Tari, Bu. Ibu masih ingat, Tari yang waktu itu...”
 “O, iya...”katanya sambil mengamatiku.
“Tari adiknya Ayu, kan. Pantesan tadi serasa kenal.”katanya melanjutkan. Aku tercengang.
“I! Iya...”kataku tak nyaman.
Kejadian yang menimpa kakakku agaknya masih dikenang oleh para Guru di Sekolahku.
“Aku turut prihatin dengan kakakmu. Dia gadis yang baik dan pintar. Ibu tak habis pikir kenapa dia melakukan itu.”katanya tanpa memandangku. Suasana menjadi lebih tak nyaman bagiku. Aku ingin sekali lari dari tempat ini.
Aku memilih diam. Pikiranku menerawang seolah mencari-cari sesuatu. Tiba-tiba ada ide aneh muncul dikepalaku.
“Bu! Waktu kakak saya meninggal apa ada sesuatu yang ganjil sehari atau ibu melihat ada yang aneh begitu.”kataku
“Maksud Tari apa? Ibu kok tak mengerti?”tanyanya bingung.
“Maksud Tari apa ibu melihat ada gerak-gerik yang aneh dari kakakku atau orang-orang didekatnya begitu.”kataku menjelaskan.
“O..Ibu tidak begitu memperhatikan. Tapi setahu ibu tidak ada. Wajar saja. Tidak ada yang ganjil.”kata Bu Diah.
Aku kecewa. Aku berharap Bu Diah bisa memberiku jawaban yang aku inginkan. Bu Diah adalah Guru yang paling dekat dengan Kak Ayu.
“O,ya. Apa Tari kenal dengan yang namannya  Bu Fitri? Dia menemui Ibu kemaren sore. Katanya dia tantemu?”tanyanya. Aku kaget mendengarnya. Untuk apa tante Fitri ke rumah Bu Diah.
“Dia berambut ikal dan ada tahi lalat di pipi kanannya?Kalau iya, ya benar dia memang tante saya.”
“Memang tante Fitri ada keperluan apa ke rumah Ibu?”
“Dia hanya silaturahmi saja. Katanya dia mendengar dari Ayu kalau Ibu ini Guru terdekatnya Ayu. Jadi mumpung dia  ke Jakarta sekalian mampir?”katanya menjelaskan.
Aku masih belum puas dengan jawaban Bu Diah.
“Hanya itu saja, Bu?”tanyaku penasaran
“Dulu kan Ayu nitip buku sama Ibu. Ibu tak tahu mau di apain buku itu karena Ayu sempat berpesan kalau buku itu tidak boleh dibaca oleh siapapun. Ayu bilang, suatu saat dia sendiri yang akan mengambilnya.”katanya
“Buku! Buku apa, Bu? Apa maksud Ibu Buku harian?”tanyaku penasaran
“Iya.”
“Tante Fitri tahu?”
“Baru kemaren ibu bilang. Ibu keceplosan. Maklumlah keasyikan ngobrol jadinya keterusan.”katanya merasa bersalah.
“lalu...buku itu Ibu kasih ke tante Fitri?”
“Oh! Tentu tidak? Mana mungkin ibu ngasih buku yang sudah jadi amanah seseorang. Apalagi sama orang yang baru Ibu kenal.”
Aku lega mendengarnya.
“Apa boleh kalau bukunya Ibu kasih ke saya. Saya kan adiknya. Orang terdekatnya.”kataku
“ya, sudah kalau begitu. Ibu sebenarnya tidak tahu mau diapain buku itu. Orangnya kan sudah tidak ada.”katanya
“Ayo, Bu. Sekarang saja. Mumpung saya masih di Jakarta.”kataku membujuknya.
“Baiklah. Ayo!”
Kami menyusuri jalan menuju ke tempat penitipan motor.  Rupanya motor  Bu Diah juga dititipkan disana. Ketika adzan maghrib berkumandang kami sampai di depan rumah Bu Diah. Kami sama-sama heran. Banyak orang sudah berkerumun disana. Kami merangsek masuk kedalam.  Ketika masuk kedalam rumah, pemandangan bak kapal pecah terhampar didepan kami.
“Ada apa, pak?”kata Bu Diah panik pada seorang lelaki setangah baya.
“Tadi polisi kesini. Sialan mereka. Ngacak-ngacak rumah sampai kayak gini. Mereka bilang kalau rumah kita ini menyembunyikan maling yang kabur, Bu. Makanya mereka menggeledah rumah ini. Sembarangan saja. Sudah bapak bilang berkali-kali tidak ada tapi mereka tetap ngotot.”kata lelaki itu yang tak lain adalah suami Bu Diah.
“Menggeledah kok sampai begini. Mana mungkin orang bersembunyi di laci-laci meja sekecil ini.  Aneh sekali.”gumamku dalam hati.
“Kalau mau cari orang kenapa semuanya digeledah. Memang orang bisa sembunyi di laci-laci meja sesempit ini.”kata Bu Diah berang. Rupanya Bu Diah satu pemahaman denganku.
“Bapak yakin mereka polisi?”tanyaku
“Mereka bilangnya begitu. Mereka membawa lencana polisi segala. La, adik ini siapa?”tanyanya sedikit emosional.
“Saya mantan muridnya Bu Diah, Pak. Nama saya Tari. Kebetulan tadi ketemu Ibu Diah di taman dekat Supermarket.”kataku memperkenalkan diri. Suami Bu Diah memperkenalkan diri bernama Ruslan.
“O, begitu. Selamat datang dirumah saya. Tapi maaf ya, dik. Rumahnya jadi berantakan gini.“katanya lebih ramah.
“Tak apa kok, Pak. Saya maklum kok.”kataku
Aku lalu berkenalan dengan dua anak lelaki Bu Diah. Diantara mereka ada yang seumuran denganku.
“Bapak tadi diam saja waktu polisi itu menggeledah laci. Kalau ada barang berharga Ibu yang hilang bagaimana?”kata Bu Diah masih kesal.
“Mau mencegah bagaimana. Bapak sama anak-anak saja tidak boleh masuk selagi mereka menggeledah.” Katanya kesal.
“Iya, benar, Bu. Kalau mereka bukan polisi sudah Didi hajar mereka.”kata Anak Bu Diah yang paling besar.
“Kok aneh, Pak. Biasanya kan kalau polisi menggeledah rumah, pemilik rumah biasanya dilibatkan?”tanyaku penasaran
“Bapak sendiri juga heran, Dik.”katanya
“Jangan-jangan mereka penjahat yang menyamar jadi polisi, Pak.”kataku yang membuat panik seisi rumah. Bu Diah langsung masuk kamar diikuti suaminya. Sementara anak-anak mereka masuk untuk mengecek kamar masing-masing..
“Untung tidak ada barang berharga yang hilang.”kata Bu Diah lega. Aku ikut lega mendengarnya. Mungkin mereka benar polisi.

“Tari, sebentar ya. Atau kamu sholat maghrib dulu. Nanti bicaranya sehabis maghrib saja, ya.”
“Iya, Bu. Boleh saya pinjam mukenanya, Bu?”
“Silahkan. Ada di mushola dekat dapur. Jalannya dari sini lurus trus belok kiri. Nanti kita jama’ah.”katanya
“Ya, sudah. Kalau begitu bapak sholat maghrib di masjid dulu. Anggap saja rumah sendiri ya, dik Tari.”kata Pak Ruslan. Dua anak lelakinya juga ikut sholat di masjid.
Aku dan Bu Diah pada akhinya sholat berjama’ah di mushola kecil mereka. Seperti rumahku. Bu Diah juga memiliki Mushola kecil di dalam rumah.
Sehabis maghrib aku diajak keluarga Bu Diah makan bersama. Rasa masakannya tak akan pernah terlupakan. Enak sekali.
Setelah makan aku menunggu Bu Diah yang sedang mencari buku diary kakakku ditemani Pak ruslan dan dua anaknya.
“Kuliahnya dimana, dik?”tanya Pak Ruslan.
“Yogya, Pak.”kataku
“Lah, podo karo anak Bapak,  si Didi ini.”kata Pak Ruslan yang di sambut senyum anaknya. Logat jawa Pak Ruslan kental sekali.  Orang yang sekali bertemu pun akan langsung tahu kalau dia orang jawa.
“Memang mba kuliahnya di universitas apa?”tanya Didi
“UGM, mas.”
“Oh, kalau saya UNY.”kata Didi
“Tari! Ini bukunya. Ibu belum pernah membacanya. Hanya tahu kalau buku ini diisi penuh. Ibu hanya membuka bagian belakang tanpa tahu isinya.”kata Bu Diah sambil berjalan kearahku.
“Buku opo to, Bu?”tanya Pak Ruslan.
“Iki. Bukunya Ayu yang dulu bapak bilang mirip artis itu lo..”kata Bu Diah menjelaskan.
“Oh! Si Ayu! Yang meninggal itu.”katanya kaget. Aku jadi tak nyaman mendengarnya.
“La, Tari ini adiknya.”sambung Bu Diah.
“Oalah. Pantesan mirip. “katanya. Aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Bapak turut prihatin ya, Dik. “kata Pak Ruslan.
“Ya, Pak. Kalau begitu  Tari pamit. Sudah malam. Nanti keluarga di rumah pada nyari, lagi”
“Oh, iya. Iya. Hati-hati di jalan. Bapak mendoakan semoga Dik Tari selalu istiqomah. Jangan putus asa kalau ada masalah. Serahin semua yang terjadi pada Sang Pencipta. “
“Iya, Pak.”jawabku kikuk. Mungkin dia menghubungkan kejadian yang menimpa Kak Ayu denganku.
“Terima kasih banyak. Maaf saya sudah merepotkan.”sambungku
“Tidak repot, kok.”Jawab Bu Diah diiringi senyum ramah yang lainnya.
“Apa mau di anterin sama Didi?”Kata Bu Diah.
“Tidak usah, Bu. Saya kan bawa motor.”
“O, iya. Ya, sudah hati-hati. Nanti kalau butuh bantuan ibu, tinggal telphon ibu saja.”
“Iya, Bu. Terima kasih. Permisi. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”jawab mereka serempak.
Sepanjang perjalanan aku menebak-nebak kira-kira apa yang ditulis Kak Ayu didalam buku Diarynya. Lagi asyik-asyiknya naik motor. Dari arah belakang muncul motor yang melaju dengan kecepatan tinggi dan hampir menyerempetku. Aku sedikit oleng. Untung saja aku bisa mengendalikan motornya.
“Itu orang sudah bosan hidup apa.”gumamku kesal. Pengendara yang belakang melihat ke belakang sambil mengacungkan jempol kirinya kebawah.
“Apa maksudnya?”gumamku kesal
Sesampai di rumah aku langsung masuk kamar dan mengunci pintu. Belum sempat aku duduk pintu kamar sudah diketuk. Rupanya Ibuku.
“Makan dulu nanti sakit perut.”
“Tari sudah makan, Bu.”jawabku diiringi mengkerutnya kening ibuku.
“Jajan sembarangan lagi.”kata Ibu menebak.
“Ngga ibuku sayang. Khawatir banget. Tadi Tari mampir ke Bu Diah. Itu lo Guru Matematika Tari waktu SMA. Tadi ketemu di dekat Supermarket. Eh, sampai lupa.”Aku lalu masuk dan membuka tas yang tadi aku bawa.
“Ini pesanan Ibu.”kataku sambil menyodorkan bungkusan plastik berisi kemeja warna biru telur untuk Bapak.”
“Makasih, sayang. Pas ngga ukurannya.”katanya membuka bungkus plastiknya.
“Kalau ngga pas dijual lagi aja, Bu.”kataku bergurau.
“Enak saja.  Emangnya Ibumu ini apaan. Kalau ngga pas kan bisa dipakai kakakmu.”
“Benar juga.”gumamku dalam hati.
“Aku masuk dulu, Bu. Mau ganti baju. “
“Iya. Jangan lupa nanti sholat Isya dulu!”serunya.
“Ok.”
Aku langsung menutup pintu dan menguncinya. Aku sudah tak sabar ingin membaca isi buku Diarynya Kak Ayu.
Persis seperti dalam mimpiku. Diary Biru laut.  Aku lalu membuka halaman pertama. Hanya ada nama kak Ayu dan tanda smile di sana. Aku lalu membuka lembar kedua dan membacanya.
“Apa-apaan ini. Masak hanya perkenalan.”gumamku tak sabar.
Aku lalu membaca lembar kedua. Aku kaget. Kosong. Aku membuka-buka lembar berikutnya sampai terakhir. Kosong. Bu Diah bilang Diary ini di isi penuh. Tapi ini hanya selembar. Tante Fitri juga bilang, Kak Ayu menceritakan isi Diarynya padanya. Aneh sekali. Apa Bu Diah tidak salah ngasih buku.
Aku lalu menelphon Bu Diah. Handphonenya tidak aktif. Aku benar-benar kesal. Aku seperti dipermainkan.
“Permainan siapa ini”gumamku kesal.

(to be continued)
 








0 komentar:

Posting Komentar

 

Designed by Simply Fabulous Blogger Templates \ Provided By Free Website Templates | Freethemes4all.com

Free Website templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates