Selasa, 05 Maret 2013

Ketika dunia tak sempurna

Mendung masih menyapa. Buku tebal di tas ranselku membuat pundakku kebas. Aku mendesah. Kali ini lalu lintas kota Yogya begitu padat. Melihat ini aku rasanya ingin memiliki sayap agar bisa terbang cepat sampai tujuan. Malam nanti aku harus berkejaran dengan waktu. Laporan praktikum yang harus ku kerjakan menanti di depanku. Sungguh dua bulan ini rasanya kepalaku seperti diaduk. 
"Hai! Buru-buru  amat sampai tidak lihat orang disekitarmu."sapa seorang perempuan yang membuatku menghentikan langkah cepatku begitu aku sampai di perpustakaan.
"Aduh! Lina, maaf. Aku tak lihat."jawabku sedikit terengah.
"Tak apa. Mau ke lantai dua, kan. Aku ikut, ya.."katanya sambil melihat dua buku tebal di tanganku.Buku itu aku keluarkan saat memasuki lantai dasar gedung perpustakaan.
"Ya. Ayo!"sahutku
Aku berjalan cepat. Lina sedikit terengah mengikutiku. "Rin! Pelan-pelan dong!"keluhnya
"Hehe...maaf. Aku biasa jalan cepat."
Aku lalu mengurangi kecepatan langkahku.
"Masih ngekos di Gria Ayu?"tanyanya
Aku mengangguk.
"Masih betah saja, sih. Sudah diperlakukan begitu juga."
 Aku tak menanggapinya.
"Rin?"tanyanya
"Apa?"sahutku
"Kamu ngekos di tempatku saja. Kebetulan kamar di sebelahku sudah kosong."
"Nanti aku pikirkan."
"Jangan bilang kalau kamu tak enak dengan mereka."katanya menebak.
Aku tersenyum. 
"Sudahlah! Kamu pindah saja. Memang kamu mau tertekan terus. Sudah saatnya kamu pergi. Kalau kamu tinggal berlama-lama kamu tak akan bisa menemukan dirimu di sana. Berteman dengan orang-orang yang katanya pandai berwacana itu bagus. Tapi menurutku kamu akan tenggelam karena tempatmu bukan disitu."
"Aku tahu. Aku tak bisa seperti mereka. Sekuat apapun aku mencoba aku hanya akan binasa. Aku tahu aku bukan tipe orang yang pandai merangkai kata menjadi kalimat bermakna tapi setidaknya banyak yang bisa aku pelajari dari kebersamaanku bersama mereka."jawabku putus asa.
"Tapi..apakah mereka tahu kalau kamu butuh support dari mereka. Aku lihat mereka bukannya memberi dukungan tapi malah semakin menenggelamkan kamu. Coba aku ingin tahu. Apa mereka tahu apa yang kamu mau. Kamu tak bisa bercerita dengan lepas seperti kamu bercerita denganku. Yah, aku tahu kamu menjadi lebih berani bicara di depan umum. Tapi coba katakan pada hatimu. Apakah itu yang kamu mau?"
"Cukup, Lin!"
"Baiklah. Aku diam. Jangan salahkan aku jika kamu malah semakin terpuruk."
Itu adalah terakhir kalinya aku bertemu Lina. Sekalipun ini sudah dua tahun lamanya. Mungkin benar jika pilihanku salah. Sampai saat ini aku masih mencari apa sesungguhnya yang paling aku inginkan. Selama ini aku hanya sebagai peniru dan pengikut. Aku tahu itu bukan diriku. Keputusanku untuk bergabung dengan organisasi ekstra telah membuatku tertekan. Itu bukan jiwaku. Tidak ada yang salah dengan organisasi itu. Aku tertekan karena aku tak bisa seperti mereka. Parahnya tidak ada satupun diantara mereka yang berhasil membuatku berkembang. Aku rasanya ingin lari. Sungguh aku seperti berada dalam dunia yang asing. Aku terpojok dan terjatuh pun  mereka tak tahu. Tidak ada yang percaya padaku. Sebelumnya aku memang pribadi tertutup, bersama mereka aku menjadi sedikit terbuka tapi akhirnya pribadiku tertutup berubah menjadi lebih tertutup lagi ketika aku semakin dalam bersama mereka. Itu adalah salahku yang terlalu memaksakan diri.
Saat ini aku harus melangkah. Meski bayang-bayang keterpurukankanku dimasa lalu masih menghantuiku hingga kini.
Kring...kring...
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam. Ini aku Lina."kata suara di seberang telphon.
"Lina! Ya, ampun, Lin. Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu."jawabku.
"Baik. Kamu gimana? Sehat?"
"Alhamdulillah Sehat."jawabku
"Aku dengar sekarang kamu sibuk membuat kerajinan tangan, ya? Jadi pengusaha dong sekarang"
"Belum disebut pengusaha. Masih merintis kok. Aku senang dengan kegiatan ini. Meski ribet, tapi aku menikmatinya."jawabku.
 "O,ya. Akhirnya kamu menemukan apa yang kamu mau."jawabnya riang.
"Apa!"seruku tak mengerti
"Iya. Itulah dirimu. Dulu aku kan sudah bilang. Kamu tak akan bisa menemukan dirimu yang sesungguhnya kalau terus ditengah-tengah mereka. Kamu akan terfokus agar bisa seperti mereka. Padahal seharusnya kamu harus menjadi dirimu sendiri. Meski bagi mereka itu adalah sesuatu yang berbeda dan aneh. Tapi kalau kamu nyaman dan enjoy berarti kamu sudah menemukan apa yang kamu mau, Rin."
"Kamu benar. Aku malah belum berfikir ke arah sana."
"Telmi, sih.."
"Enak saja."
"Tapi tidak juga, Lin. Bersama mereka aku menjadi suka mengembangkan tulisan. Lewat curahan hatiku di buku diary tentunya. Bukankah itu adalah modal awal menjadi penulis. Siapa tahu aku menjadi penulis beneran. Temanku pernah bilang. Jangan baca buku punya orang terus, dong. Kapan bisa punya buku sendiri. Aku bilang, iya, ya...hehehe.."
"Temanmu yang mana?"
"Teman kerjaku dulu."jawabku
"Oh."katanya singkat.
Aku sekarang sadar. Memaksakan diri itu bukanlah jalan keluar yang terbaik. Menjadi diri sendiri dan belajar untuk menemukan potensi yang ada pada diri itulah yang lebih utama. Aku tak akan pernah menyesal berada bersama mereka. Bersama mereka aku bisa belajar banyak hal. Meski itu hanya berupa sebuah celah kecil. Itu cukup sebagai bekalku  untuk berlari menjauhi dunia gelap yang mengungkungku.

NB: Cerpen singkat ini sudah saya kembangkan...klik: www.isengajamenulis.blogspot.com











0 komentar:

Posting Komentar

Selasa, 05 Maret 2013

Ketika dunia tak sempurna

Mendung masih menyapa. Buku tebal di tas ranselku membuat pundakku kebas. Aku mendesah. Kali ini lalu lintas kota Yogya begitu padat. Melihat ini aku rasanya ingin memiliki sayap agar bisa terbang cepat sampai tujuan. Malam nanti aku harus berkejaran dengan waktu. Laporan praktikum yang harus ku kerjakan menanti di depanku. Sungguh dua bulan ini rasanya kepalaku seperti diaduk. 
"Hai! Buru-buru  amat sampai tidak lihat orang disekitarmu."sapa seorang perempuan yang membuatku menghentikan langkah cepatku begitu aku sampai di perpustakaan.
"Aduh! Lina, maaf. Aku tak lihat."jawabku sedikit terengah.
"Tak apa. Mau ke lantai dua, kan. Aku ikut, ya.."katanya sambil melihat dua buku tebal di tanganku.Buku itu aku keluarkan saat memasuki lantai dasar gedung perpustakaan.
"Ya. Ayo!"sahutku
Aku berjalan cepat. Lina sedikit terengah mengikutiku. "Rin! Pelan-pelan dong!"keluhnya
"Hehe...maaf. Aku biasa jalan cepat."
Aku lalu mengurangi kecepatan langkahku.
"Masih ngekos di Gria Ayu?"tanyanya
Aku mengangguk.
"Masih betah saja, sih. Sudah diperlakukan begitu juga."
 Aku tak menanggapinya.
"Rin?"tanyanya
"Apa?"sahutku
"Kamu ngekos di tempatku saja. Kebetulan kamar di sebelahku sudah kosong."
"Nanti aku pikirkan."
"Jangan bilang kalau kamu tak enak dengan mereka."katanya menebak.
Aku tersenyum. 
"Sudahlah! Kamu pindah saja. Memang kamu mau tertekan terus. Sudah saatnya kamu pergi. Kalau kamu tinggal berlama-lama kamu tak akan bisa menemukan dirimu di sana. Berteman dengan orang-orang yang katanya pandai berwacana itu bagus. Tapi menurutku kamu akan tenggelam karena tempatmu bukan disitu."
"Aku tahu. Aku tak bisa seperti mereka. Sekuat apapun aku mencoba aku hanya akan binasa. Aku tahu aku bukan tipe orang yang pandai merangkai kata menjadi kalimat bermakna tapi setidaknya banyak yang bisa aku pelajari dari kebersamaanku bersama mereka."jawabku putus asa.
"Tapi..apakah mereka tahu kalau kamu butuh support dari mereka. Aku lihat mereka bukannya memberi dukungan tapi malah semakin menenggelamkan kamu. Coba aku ingin tahu. Apa mereka tahu apa yang kamu mau. Kamu tak bisa bercerita dengan lepas seperti kamu bercerita denganku. Yah, aku tahu kamu menjadi lebih berani bicara di depan umum. Tapi coba katakan pada hatimu. Apakah itu yang kamu mau?"
"Cukup, Lin!"
"Baiklah. Aku diam. Jangan salahkan aku jika kamu malah semakin terpuruk."
Itu adalah terakhir kalinya aku bertemu Lina. Sekalipun ini sudah dua tahun lamanya. Mungkin benar jika pilihanku salah. Sampai saat ini aku masih mencari apa sesungguhnya yang paling aku inginkan. Selama ini aku hanya sebagai peniru dan pengikut. Aku tahu itu bukan diriku. Keputusanku untuk bergabung dengan organisasi ekstra telah membuatku tertekan. Itu bukan jiwaku. Tidak ada yang salah dengan organisasi itu. Aku tertekan karena aku tak bisa seperti mereka. Parahnya tidak ada satupun diantara mereka yang berhasil membuatku berkembang. Aku rasanya ingin lari. Sungguh aku seperti berada dalam dunia yang asing. Aku terpojok dan terjatuh pun  mereka tak tahu. Tidak ada yang percaya padaku. Sebelumnya aku memang pribadi tertutup, bersama mereka aku menjadi sedikit terbuka tapi akhirnya pribadiku tertutup berubah menjadi lebih tertutup lagi ketika aku semakin dalam bersama mereka. Itu adalah salahku yang terlalu memaksakan diri.
Saat ini aku harus melangkah. Meski bayang-bayang keterpurukankanku dimasa lalu masih menghantuiku hingga kini.
Kring...kring...
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam. Ini aku Lina."kata suara di seberang telphon.
"Lina! Ya, ampun, Lin. Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu."jawabku.
"Baik. Kamu gimana? Sehat?"
"Alhamdulillah Sehat."jawabku
"Aku dengar sekarang kamu sibuk membuat kerajinan tangan, ya? Jadi pengusaha dong sekarang"
"Belum disebut pengusaha. Masih merintis kok. Aku senang dengan kegiatan ini. Meski ribet, tapi aku menikmatinya."jawabku.
 "O,ya. Akhirnya kamu menemukan apa yang kamu mau."jawabnya riang.
"Apa!"seruku tak mengerti
"Iya. Itulah dirimu. Dulu aku kan sudah bilang. Kamu tak akan bisa menemukan dirimu yang sesungguhnya kalau terus ditengah-tengah mereka. Kamu akan terfokus agar bisa seperti mereka. Padahal seharusnya kamu harus menjadi dirimu sendiri. Meski bagi mereka itu adalah sesuatu yang berbeda dan aneh. Tapi kalau kamu nyaman dan enjoy berarti kamu sudah menemukan apa yang kamu mau, Rin."
"Kamu benar. Aku malah belum berfikir ke arah sana."
"Telmi, sih.."
"Enak saja."
"Tapi tidak juga, Lin. Bersama mereka aku menjadi suka mengembangkan tulisan. Lewat curahan hatiku di buku diary tentunya. Bukankah itu adalah modal awal menjadi penulis. Siapa tahu aku menjadi penulis beneran. Temanku pernah bilang. Jangan baca buku punya orang terus, dong. Kapan bisa punya buku sendiri. Aku bilang, iya, ya...hehehe.."
"Temanmu yang mana?"
"Teman kerjaku dulu."jawabku
"Oh."katanya singkat.
Aku sekarang sadar. Memaksakan diri itu bukanlah jalan keluar yang terbaik. Menjadi diri sendiri dan belajar untuk menemukan potensi yang ada pada diri itulah yang lebih utama. Aku tak akan pernah menyesal berada bersama mereka. Bersama mereka aku bisa belajar banyak hal. Meski itu hanya berupa sebuah celah kecil. Itu cukup sebagai bekalku  untuk berlari menjauhi dunia gelap yang mengungkungku.

NB: Cerpen singkat ini sudah saya kembangkan...klik: www.isengajamenulis.blogspot.com











0 komentar:

Posting Komentar

 

Designed by Simply Fabulous Blogger Templates \ Provided By Free Website Templates | Freethemes4all.com

Free Website templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates